‘Humanity Above Religion’. Kata-kata itu sering tersebar di beberapa design kaos t-shirt, baliho, ataupun gambar-gambar di media sosial. Sering sekali kudapati orang yang memakai T-shirt dengan tulisan itu. Memang benar, kemanusiaan lebih penting daripada agama. Karena, pada realita yang terjadi sekarang, banyak sekali agamawan atau oknum-oknum beragama yang menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan. Padahal, menurutku semakin taat seseorang beragama maka seharusnya semakin tinggi pula seseorang itu memegang teguh nilai dan prinsip kemanusiaan.
Seorang tokoh yang sering disebut bapak Pluralis Indonesia yaitu Gus Dur dalam salah satu bukunya menuliskan bahwa “Saat ini semakin banyak orang yang memeluk agama, tetapi semakin sedikit orang yang memeluk kemanusiaan”. Kata-kata itu sepertinya buah dari observasi dan penelaahan Gus Dur ketika melihat fenomena tentang kehidupan beragama dan kehidupan di masyarakat modern hari ini. Banyak orang rela menghabiskan waktu, tenaga, dan materinya untuk membela agama yang mereka anut, tetapi disisi lain menghilangkan esensi dari pentingnya membela orang-orang beragama yang setiap hari tertindas dan lapar. Sehingga, berangkat dari hal itulah mungkin Gus Dur membuat sebuah buku yang berjudul “Tuhan Tidak Perlu Dibela”.
Memang cenderung sangat sulit untuk memberikan kesadaran secara spontan kepada mereka yang telah terdogmatisasi oleh prinsip-prinsip agama yang kurang sesuai dengan nilai-nilai yang diajarkannya. Untuk itu, menjadi sesuatu yang wajar kenapa Karl Marx dalam salah satu tulisannya menuliskan bahwa ”Religions is the opium of the people”. Karena memang agama ini memang candu. Salah satu hal yang diberikan agama kepada orang-orang adalah harapan. Sebuah harapan bahwa mereka (orang yang beragama) akan mendapatkan kehidupan yang lebih layak dan kekal setelah kematian menemui mereka. Mereka yakin bahwa dengan memperjuangkan agama yang dianutnya, mereka akan mendapatkan ganjaran berupa kesenangan hidup di kehidupan selanjutnya yaitu di surga. Padahal, sebelum Gus Dur, banyak tokoh-tokoh agama lain yang mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan, yaitu pentingnya menjalankan ritus-ritus agama yang diselaraskan dengan pentingnya juga menjaga menolong sesamanya.
Tetapi ini juga merupakan sesuatu yang rancu. Sebetulnya, apa yang perlu dibela dari sebuah agama? apakah agamanya atau nilai-nilai dan ajaran dalam agama tersebut? Atau malah tuhan yang menjadi entitas dari agama itu sendiri?. Ada beberapa orang yang menganggap bahwa kita harus membela agama secara keseluruhan, ada juga yang beranggapan bahwa nilai-nilai dan ajaran agama lah yang harus dibela, sebagian lagi menyebut bahwa tuhan lah yang harus dibela karena menjadi sebuah simbol dan entitas dari agama itu sendiri. Dari tiga anggapan tersebut, aku pun masih mengalami kebingungan mana yang memang harus aku ikuti, apakah anggapan orang pertama, kedua, atau ketiga?. Namun, dari ketiga anggapan tersebut, aku lebih condong -meskipun tidak seutuhnya berada disana- ke anggapan orang yang meyakini bahwa nilai-nilai dan ajaran agama lah yang musti dibela.
Kenapa aku lebih condong kesana? karena anggapan inilah yang sekiranya masih berada dalam koridor prinsipku bahwa kemanusiaan dan kepedulian kepada semua harus dibela juga. Jika mengkaji sedikit tentang agama-agama yang eksis hari ini, salah satu ajaran dan prinsip dari semua agama tersebut adalah bagaimana caranya kita sebagai orang yang beragama bisa turut serta membantu dan menolong sesama serta semua. Untuk itulah, mungkin aku lebih sepakat dan meyakini bahwa aku merupakan salah satu dari orang-orang yang meyakini bahwa nilai dan prinsip dari agama lah yang harus senantiasa kita bela.
Meskipun, ada sesuatu yang sedikit mengganjal kalau melihat fenomena dari orang-orang tersebut. Sesuatu itu telah cukup lama mengganjal dalam diriku, yaitu ketika orang-orang berbondong untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya rasa kemanusiaan, tetapi disisi lain menghilangkan kepedulian.
Karena, rasa kemanusiaan dan rasa kepedulian itu merupakan sesuatu yang serupa tapi tak sama. Meskipun kemanusiaan dan kepedulian sama-sama memiliki esensi yang sama yaitu tingginya rasa empati, tetapi dalam praktiknya justru kepedulianlah yang lebih universal karena mencakup semua makhluk hidup. Sedangkan kemanusiaan hanya mencakup rasa empati kepada sesama manusia saja.
Di era hari ini, rasanya memang tingkat atau rasa kemanusiaan setiap orang itu semakin tinggi. Apalagi di era disrupsi teknologi, di mana setiap informasi yang terjadi di semua tempat, bisa kita akses sedemikian mudahnya. Hal itu menjadi faktor kita bisa mengetahui kondisi atau sesuatu pun yang sedang terjadi sehingga menjadi wajar jika di media sosial banyak orang-orang yang berbondong-bondong mengomentari atau mensupport siapapun yang sedang viral atau terkena musibah agar ditegarkan dalam menghadapinya. Meskipun rasa kemanusiaan itu tumbuh melalui jalur internet, namun tak sedikit juga yang memiliki tujuan lain selain mensupport atau mendoakan. Tak sedikit juga yang menjadikan sebuah musibah atau bencana yang diderita orang lain digunakan oleh orang-orang tertentu demi kepentingan pribadi agar dia terlihat lebih manusiawi. Pertanyaannya? apakah dengan kita aktif bersuara memberikan dukungan dalam bentuk komentar kepada mereka yang terkena musibah adalah satu-satunya indikator kita mempunyai rasa kemanusiaan? Aku kira bisa iya bisa juga tidak. Kenapa? Karena rasa kemanusiaan tidak hanya bisa diukur oleh jumlah berapa banyak kita berkomentar. Meskipun dengan semakin banyaknya komentar kemudian memposting ulang, itu bisa memberikan dampak semakin menyebarnya informasi itu di internet agar orang-orang yang sebelumnya tidak tahu menjadi tahu serta bisa memberikan rasa kemanusiaannya juga.
Namun, dari fenomena tersebut, meskipun kemanusiaan setiap orang semakin diinjeksi dengan konten-konten yang menggugah rasa empati kita, rasanya, kepedulian akan sesuatu yang terjadi pada orang-orang, lingkungan, atau makhluk hidup lainnya tidak se signifikan tingginya rasa kemanusiaan. Tapi, aku juga mengalami kebingungan ketika membedah rasa kepedulian. Apakah rasa kepedulian kita perlu ditunjukkan dengan melakukan aksi nyata? atau cukup dengan cara mengkampanyekan saja? Meskipun terlepas dari pertanyaan itu semua, aku berasumsi bahwa dari banyaknya orang yang memiliki rasa kemanusiaan, hanya segelintir orang saja yang masih menjunjung tinggi rasa kepedulian.
Kita ambil contoh sederhana, ketika terjadi sebuah peristiwa penggusuran paksa oleh pemerintah kepada sekelompok orang, banyak orang yang berbondong-bondong mengkritik langkah pemerintah tersebut, karena telah merampas tempat tinggal sekelompok orang tersebut. Tetapi, ketika pemerintah melakukan kegiatan pengalihfungsian lahan yang awalnya hutan lebat tempat banyaknya makhluk hidup tinggal disana menjadi lahan pertanian atau bangunan, hanya segelintir orang yang mengkritisi langkah pemerintah tersebut. Padahal, selain manusia juga, ada makhluk hidup lainnya yang harus dijaga dan diberikan hak hidup dan tempat tinggalnya juga.
Terakhir, kiranya ini harus menjadi renungan kita bersama selaku manusia yang juga menumpang hidup kepada alam di sekitar kita. Bahwa hak hidup itu tidak hanya berlaku untuk manusia saja, melainkan makhluk hidup lainnya juga memiliki hak untuk hidup dan mendapatkan tempat hidup. Nah, hak hidup makhluk hidup lainnya itulah yang bisa kita implementasikan dengan cara memupuk rasa kepedulian, bukan hanya sekedar rasa kemanusiaan. Karena, kembali lagi, kemanusiaan itu hanya tertuju pada hak-hak manusia lainnya, sedangkan kepedulian lebih universal mencakup hak-hak makhluk hidup lainnya.
