Identitas Buku

Judul Buku : Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan
Penulis : Ahmet T. Kuru
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
ISBN : 978-602-481-517-2
Jumlah Halaman : xviii + 498 hlm
Dimensi Buku : 14 cm x 21 cm

Pendahuluan

Pertama kali saya tahu buku ini adalah atas dasar rekomendasi dari teman saya untuk membaca salah satu buku yang katanya sangat keren, di dalamnya membahas tentang peradaban Islam yang hari ini mengalami kemerosotan atau lebih jelasnya tertinggal dari peradaban eropa. Berangkat dari hal tersebut, maka saya tertarik untuk membeli buku ini lalu membaca halaman demi halaman, yang ternyata memang benar apa yang dikatakan oleh teman saya itu, bahkan saya pun terheran-heran dengan data-data yang disuguhkan dalam buku tersebut. Jadi, alasan kenapa Islam hari ini jauh tertinggal, penulis coba uraikan dari data-data yang penulis temukan ke dalam bentuk sebuah narasi deskriptif yang komprehensif sehingga pernyataan-pernyataan yang ditulis dalam buku ini berangkat dari data-data yang ada sekaligus dari historis yang penulis pelajari dari berbagai aspek.

Bahkan ketika saya mencoba untuk searching tentang penulis buku ini yaitu Ahmet T. Kuru, ternyata buku ini juga merupakan buku yang mendapatkan penghargaan terhormat dari SSSR American Political Science Association’s International History and Politics Section.

Penulis menjabarkan bagaimana Islam hari ini tertinggal dari eropa barat, itu karena salah satu faktor historis peradaban Islam yang dulu dihegemoni beberapa kekhalifahan Islam, sehingga kondisi hari ini adalah merupakan sebuah hasil yang dilakukan oleh penguasa Muslim pada waktu dulu. 

Isi Buku

Buku ini dibagi dalam dua bagian; bagian pertama menjelaskan tentang Masa Kini, dan bagian kedua berbicara tentang Sejarah. Pada bagian pertama tentang Masa Kini, dibagi menjadi 3 bab pembahasan; 1) Kekerasan dan Perdamaian, 2) Otoritarianisme dan Demokrasi, 3) Ketertinggalan Sosio Ekonomi dan Pembangunan. Sedangkan pada bagian kedua tentang Sejarah dibagi menjadi 4 bab pembahasan; 1) Kemajuan: Para Sarjana dan Pedagang Arab (Abad 7-11 M), 2) Krisis: Invasi (Abad 12-14 M), 3) Kekuasaan: Tiga Imperium Muslim (Abad 15-17 M), dan 4) Keruntuhan: Kolonialisme Barat dan Para Reformis Muslim (Abad 18-19 M).

Buku ini cukup tebal untuk dibaca serta dipahami secara menyeluruh, ditambah bagian-bagian dalam buku ini yang memerlukan pendalaman lebih jauh, sehingga saya disini mencoba menuliskan sesuatu yang cukup saya soroti yang saya kira ini perlu untuk kita refleksikan di kondisi hari ini.

Hal yang menarik yang membuat saya bertanya-tanya adalah terkait argumentasi penulis tentang persekutuan ulama-negara yang pemikiran tersebut mulai dibumisasikan pada masa dinasti Seljuk yang diprakarsai oleh pemikir muslim yaitu Abu Hamid Al-Ghazali atau yang sering kita sebut sebagai Ghazali. Gagasan persekutuan ulama-negara, menurut penulis menjadi salah satu faktor penyebab kemandegan intelektual di dunia muslim.

Penulis juga menjelaskan bahwa istilah agama dan negara adalah saudara kembar merupakan suatu dogma yang melegitimasi persekutuan ulama-negara bukan merupakan sebuah hadits seperti banyak dipahami oleh kalangan muslim, akan tetapi istilah tersebut berasal dari pepatah persia sasaniyah yang diperkenalkan kembali oleh Ghazali.

Persekutuan ulama-negara, menurut penulis menjadi salah satu faktor kemunduran perkembangan pengetahuan di dunia muslim. Hal itu dijelaskan dikarenakan jika para ulama bersekutu dengan penguasa, maka produk pemikiran yang lahir dari ulama tersebut tidak otentik lahir dari pemikirannya berdasarkan keresahan yang terjadi, akan tetapi pemikiran tersebut lahir semata-mata untuk lebih melanggengkan kekuasaan para penguasa. Sehingga independensi para ulama tidak terlihat karena adanya intervensi dari penguasa. Hal itu diperjelas dengan bukti sejarah bahwa para ulama pada masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah menjaga jarak dari otoritas negara bisa dilihat dari pertengahan abad ke 8 hingga 9. Selama periode itu, empat mazhab sunni utama dalam ilmu hukum (fiqh) didirikan oleh para sarjana independent (Abu Hanifah, Malik, syafi’I, dan Ahmad bin Hambal). Mereka semua menolak menjadi abdi negara. Bahkan sampai mengalami persekusi dan penjara oleh otoritas negara karena pendapat mereka yang berbeda.

Penulis beberapa kali mengkritik Ghazali dan menganggap Ghazali sebagai tokoh muslim yang paling tidak konsisten. Karena Ghazali sebelumnya mengajar di madrasah Nizhamiyah kemudian keluar dan menjaga jarak dengan penguasa, kemudian setelah melahirkan bukunya Tahafut At-Tahafut, Ghazali Kembali mengajar di Madrasah Nizhamiyah dan menyebarkan paham pelarangan belajar filsafat. Kemudian, setelah kembali mengajar di Madrasah Nizhamiyah, Ghazali merumuskan sebuah kurikulum pembelajaran yang harus diajarkan di Madrasah-madrasah, dimana kurikulum ini menjadi sebuah rujukan yang sampai hari ini masih dipakai di banyak Madrasah/Pesantren. Dalam kurikulum tersebut Ghazali melarang adanya pelajaran tentang filsafat, sehingga sampai hari ini banyak Madrasah/Pesantren yang tidak mengajarkan filsafat kepada para muridnya. Serta dari sini pula stigma tentang filsafat menjadi sebuah doktrin turun menurun bahwa filsafat adalah sebuah disiplin ilmu yang menyesatkan. Padahal, pelarangan filsafat-jika boleh memberikan asumsi- menjadi salah satu sebab menguatnya doktrin mistifikasi di masyarakat yang justru malah menghilangkan fungsi akal sebagai medium berpikir, sehingga masyarakat terjebak pada ruang-ruang mitos atau mistis tanpa sedikitpun melirik pentingnya penggunaan logos.

Selain daripada itu, faktor lain yang menjadi penyebab dunia muslim hari ini tertinggal dari peradaban eropa, dimulai pada abad ke 15-17. Pada abad tersebut ada tiga penemuan besar yang menjadi titik balik majunya peradaban hari ini. Yaitu: ditemukannya bubuk mesiu, mesin pencetak, dan kompas laut.

Dari tiga penemuan besar itu, sayangnya, tiga imperium muslim besar pada abad itu; Osmani, Shafavi, dan Mughal terlalu fokus penguatan pertahanan wilayahnya (militer) yang mana itu hanya memanfaatkan bubuk mesiu saja untuk meracik dan menciptakan senjata untuk berperang. Sehingga dua penemuan lainnya tidak terlalu dilirik oleh tiga imperium tersebut -mesin pencetak dan kompas laut-. Berbeda dengan eropa pada saat itu, mereka memaksimalkan tiga penemuan tersebut untuk lebih memperkuat kekuasaannya dan memperluas wilayah kekuasaannya. Sama dengan imperium muslim, bubuk mesiu menjadi faktor pendorong banyaknya penemuan senjata untuk memperkuat basis militer mereka, kemudian mesin pencetak, negara-negara eropa mencetak jutaan buku hasil terjemahan untuk dibaca dan dikonsumsi oleh rakyatnya sehingga kemajuan berpikir rakyat eropa semakin pesat. Terakhir penemuan kompas menjadi salah satu prakondisi banyaknya negara-negara eropa yang berlayar untuk menemukan wilayah baru yang belum terpetakan, dan ini menjadi faktor adanya kolonialisme dan imperialisme negara eropa di negara-negara lain. Pada abad ini pula, eropa mengalami abad yang disebut renaisans (pencerahan) karena akibat pemaksimalan tiga penemuan besar tadi.

Pada abad 18-19 eropa barat dan amerika utara mengalami perubahan-perubahan penting seperti pencerahan, revolusi amerika dan perancis, dan revolusi industri. Namun, dunia muslim umumnya masih stagnan pada abad ke 18. Negara-negara Muslim bahkan gagal memanfaatkan teknologi cetak secara efektif hingga reformasi westernisasi pada abad ke 19.

Sementara masyarakat eropa barat membaca jutaan Salinan terjemahan alkitab dari abad 15 dan seterusnya, pencetakan terjemahan Qur’an secara lengkap masih tabu di tengah masyarakat muslim hingga abad 20.

Dengan kedinamisan sosio ekonominya, negara-negara barat mengembangkan teknologi dan organisasi militer, dan menguasai dunia. Hanya Jepang dan Rusia yang menyamai tingkat kemajuan teknologi dan keefektifan organisasi barat, dan keduanya menjadi negara penjajah.

Kaum intelektual dan borjuis di Eropa Barat berperan besar dalam proses-proses kompleks seperti Pencerahan, Revolusi Amerika dan Perancis, Revolusi Industri, yang mengubah masyarakat dan negara Eropa Barat dan Amerika Utara. Proses-proses itu berkontribusi ke hidupnya dunia intelektual, partisipasi politik, kekuatan ekonomi, dan kekuatan militer negara-negara barat. Sebaliknya, suasana intelektual dan perdagangan di dunia Muslim kurang bergairah. Negara-negara Muslim tidak mengalami revolusi filsafat, politik, sains atau teknologi. Maka, negara-negara Muslim menjadi lebih lemah secara politik dan militer daripada negara-negara barat. Negara-negara barat memanfaatkan kekuatannya untuk secara langsung atau tidak langsung menjajah (kolonialisme) sebagian besar bagian dunia, termasuk negeri-negeri Muslim.

Kelebihan

Buku ini terbilang buku yang agak berat pembahasannya, jadi butuh kefokusan yang lebih ketika membaca buku ini. Akan tetapi meskipun bahasan dari buku ini cukup berat, penulis menggunakan tata penulisan yang cenderung mudah dipahami dan agak ringan, sehingga ketika saya membaca buku ini pun meskipun bahasannya agak berat, karena gaya tulisannya yang cenderung ringan dan mudah dipahami, saya terhanyut dalam setiap kata, setiap kalimat yang baca dalam buku ini.

Kekurangan

Kekurangan dalam buku ini, saya kira adalah tidak menjelaskan akar historis sebab akibat kenapa ulama pada 8-9 menjaga jarak dengan penguasa pada saat itu. karena, pasti ada faktor sosio-historis yang mendorong ulama-ulama pada waktu menjaga jarak dengan para penguasa.

Penutup

Membaca buku ini seperti melihat dan merasakan kondisi peradaban muslim hari ini yang ternyata ada banyak faktor penyebab peradaban muslim jauh tertinggal dari peradaban eropa. Ada beberapa aspek yang dijelaskan dalam buku ini, yaitu, masih banyak kaum Muslim yang berpikiran ortodoks sehingga dinamisasi dan perkembangan zaman sulit diterima. Selanjutnya, pembelajaran Islam masa kini (kurikulum) masih terbelenggu dan terdogmatisasi pemahaman-pemahaman mistifikasi segala hal tanpa diimbangi oleh pengetahuan-pengetahuan yang didasari oleh keteguhan berpikir dan nalar yang selaras nafas Islam.

Ini menjadi sebuah refleksi bagi saya selaku pembaca buku ini bahwa dulu peradaban muslim pernah menjadi pusat peradaban dunia, dan sekarang merupakan PR kita selaku generasi muda untuk membangkitkan kembali peradaban muslim yang maju dan pesat, salah satunya adalah membuat sebuah iklim intelektual yang mendorong generasi hari ini untuk lebih mengeksplorasi pemikirannya sehingga mampu melahirkan pemikiran-pemikiran progresif dan revolusioner atas kondisi yang terjadi hari ini.