Judul Buku : Menuju Aswaja-Materialis: Aswaja, Sains Marxisme dan Post-Moderatisme Islam
Penerbit : Transisi Publishing (Intrans Institute)
Pengarang : Moh. Roychan Fajar
ISBN : 978-623-6548-73-8
Jumlah Halaman : xlviii, 222
Membicarakan mengenai Aswaja-dimulai dari terminologi, konsepsi, sampai dengan penerapannya- memang sedang mengalami ke-bias-an di masyarakat yang mengakibatkan Aswaja hanya dijadikan sebuah simbol keberislaman yang moderat, toleran, dan ramah kemajemukan sehingga implememtasi dari teori dan konsepsi Aswaja belum sepenuhnya bisa diterapkan. Salah satu hal yang melatarbelakangi adalah karena Aswaja hari ini hanya berkutat pada persoalan identitas, status quo, serta cenderung elitis yang mengakibatkan teralienasinya persoalan-persoalan material kerakyatan.
Dengan adanya buku ini, kembali menghadirkan khazanah kajian intelektual bagi kalangan pemuda yang ingin mengkaji konsepsi Aswaja dengan menggabungkan Aswaja sebagai sebuah paham keberislaman menggunakan pendekatan metodologi sains marxisme yang sudah cukup lama hilang sejak konsep Islam Kiri yang diperkenalkan oleh Hasan Hanafi.
Dengan membaca buku karya Moh. Roychan Fajar ini, kita akan diajak untuk mengeksplorasi bahasan demi bahasan serta bab demi bab bagaimana merekontruksi wawasan Aswaja sebagai sebuah paham keberislaman dengan menggunakan metodologi sains marxisme sehingga mampu diproyeksikan sebagai wawasan yang religius yang membebaskan, yang emansipatif, yang dapat mendorong gerakan perjuangan kelas membela masyarakat yang termarjinalkan oleh dominasi kebijakan-kebijakan status quo yang kapitalistik dan pro-pemodal.
PIJAKAN PERTAMA
Penulis menjabarkan Aswaja sebagai sebuah diskursus keberislaman telah menjelma sebagai “monumen mati”, ibarat “barang antik” yang senantiasa digantung lusuh di tembok-tembok museum tua. Karenanya, aswaja menjadi sebuah peninggalan sejarah masa lalu yang tetap diberhalan sehingga menjadi sesuatu yang mutlak dengan nilai kebenarannya yang tidak bisa diganggu gugat konsepsinya. Alhasil, aswaja menjadi sebuah dogma yang kehilangan nilai ideologisya sebagai sebuah pengetahuan teoretis dan praksis sehingga aswaja yang seperti ini kehilangan eksistensinya dalam problem-problem material kerakyatan karena hanya terfokus pada proyek elitis di atas kepentingan-kepentingan pragmatis dan hanya sukses dalam tataran wacana forum ilmiah saja. Lebih lanjut, aswaja menjadi sebuah pemahaman yang melanggengkan kepentingan-kepentingan kaum borjuis pada proyek kapitalistik yang ekstraktif ekspolitatif yang menyebabkan rakyat-rakyat di akar rumput menjadi termarjinalkan dalam kehidupan sosialnya serta semakin jelas dan parahnya ketimpangan kelas.
Ini bukan kali pertama Aswaja mendapatkan kritikan pedas dari para cendekiawan muda muslim-Nahdliyin. Sebelumnya kritikan mengenai konsepsi aswaja yang sudah terlampau usang pernah dikritik yang digagas oleh sosok Abdurrahman Wahid yang sering kita sebut Gus Dur yang menurutnya kondisi seperti itu dikarenakan ketrgantungan terhadap ortodoksi fiqh yang mengantarkan pada penolakan terhadap modernitas dan pendekatan rasional dalam kehidupan yang kemudian dilanjutkan oleh Said Aqil Siradj dengan konsep Aswaja Manhaj al-Fikr-nya yang pada puncaknya melahirkan Post-Tradisionalisme yang kemudian disebut Moderatisme, yakni Aswaja dengan mengusung wajah baru yaitu toleran, lentur, dan ramah kemajemukan. Akan tetapi Aswaja Manhaj al-Fikr dalam praktiknya kian hari semakin mengalami kelumpuhan, terutama ketika dihadapkan pada persoalan Ekonomi-Politik neoliberal yang telah berhasil memodifikasi ajaran Islam untuk berkompromi pada agenda-agenda kapitalisme, karena Aswaja Manhaj al-Fikr hari ini berkembang menjadi wacana elitis yang membiaskan masalah sesungguhnya yang dihadapi oleh masyarakat akar rumput, yakni mengenai persoalan material kerakyatan.
Berangkat dari hal ini, penulis kemudian menawarkan konsep yang lebih progressif dan revolusioner serta mampu melampaui Moderatisme, yakni konsep Aswaja Materialis (Post-Moderatisme). Sebuah konsep elaboratif Aswaja dengan menggunakan pendekatan sains marxisme sebagai kerangka teoretis dan metodologi ilmiahnya.
PIJAKAN KEDUA
Aswaja Materialis adalah sebuah konsep yang merumuskan ulang tiga dimensi Aswaja (Trilogi Aswaja), yakni Akidah, Fiqh, dan Tasawuf, melalui pendekatan sains marxisme dengan bangun kerangka teoretis Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis. Materialisme adalah paham dalam filsafat yang menyatakan bahwa hal yang dapat dikatakan benar-benar ada adalah materi. Materialisme Dialektis dan Materialisme historis adalah dua proyek besar dalam pemikiran marxisme. Pada dasarnya semua hal terdiri atas materi dan semua fenomena adalah hasil interaksi material. Dalam hal ini, sains marxisme tidak diposisikan sebagai paham ideologis, tetapi marxisme dalam kritik Aswaja ini dipoisisikan sebagai sebuah kerangka teoretis dan metodologi ilmiah yang dapat diproyeksikan untuk melakukan pembacaan mengenai perubahan-perubahan sosial ekonomi-politik yang semakin kompleks.
Penulis memberikan sebuah tawaran dalam mencoba untuk merumuskan ulang tiga dimensi Aswaja tersebut yaitu dengan merekontruksi teologi, fiqh, dan tasawuf dalam aswaja yang diadaptasikan dengan teoretis saind marxisme kontemporer yang hasilnya menjadi (1) Teologi Materialis, (2) Fiqh Proletar, dan (3) Tasawuf Revolusioner. Penjabaran mengenai adaptasi antara trilogi Aswaja dengan proyek sains marxisme kontemporer saya sisakan bagi pembaca untuk mengetahui dan memahami ketika membaca buku ini.
Sayangnya, dalam buku ini penulis tidak menjelaskan secara lebih mendalam serta komprehensif terhadap musuh utama dalam bahasan buku ini, yaitu Kapitalisme yang ektsraktif-eksploitaif sehingga bagi pembaca yang sebelumnya belum mengetahui pertentangan antara kapitalisme yang dikritik oleh marxisme harus membaca ulang secara serius kenapa pertentangan tersebut dan apa yang mendasari pertentangan tersebut.
PIJAKAN KETIGA
Sebetulnya, resensi dari buku ini sudah sedikit banyaknya diulas oleh saya pada Pijakan Pertama dan Kedua. Lantas kenapa saya menambahkan Pijakan Ketiga? Pijakan Ketiga ini saya sisakan bagi para pembaca buku ini untuk ikut mengkaji, mengembangkan serta menerjemahkan diskursus-diskursus ini, baik berupa penyempurnaan teoretis, metodologis, maupun ke arah gerakan yang lebih konkret. Sesuai dengan pesan penulis pada halaman terakhir buku ini bahwa buku ini sangat terbuka untuk terus dikembangkan dan disempurnakan, melalui sejumlah sanggahan-sanggahan, kritik dan perdebatan-perdebatan sengit ke depannya.
KESIMPULAN
Saya kira penulis mencoba untuk memberikan lompatan yang jauh ke depan mengenai konsepsi Aswaja yang hari ini cenderung tidak bisa diharapkan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan material kerakyatan karena telah terkondisikan oleh hegemoni kekuasaan yang kapitalistik. Dimana Aswaja kurang terlihat eksistensinya dalam kehidupan masyarakat-masyarakat terpinggirkan yang senantiasa menjadi objek penindasan dalam sistem kapitalisme ini. Sehingga pembacaan ulang Aswaja dengan menggunakan pendekatan sains marxisme dengan bangun Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis menjadi sebuah narasi dan wacana yang sangat segar yang bisa menciptakan kembali iklim diskursus bagi pergerakan kaum intelektual dengan memperjuangkan masyarakat-masyarakat yang -dalam sistem kapitalisme- termarjinalkan.
Aswaja Materialis (Post-Moderatisme Islam) oleh penulis dijadikan sebagai sebuah konsepsi sekaligus paradigma baru dalam gerakan kaum Nahdliyin yang mencoba memberikan sebuah kekuatan bagi rakyat agar bisa mempertahankan kedaulatan ekonomi-politik serta sumber daya alam, yang sebelumnya Aswaja tidak hadir dalam hal tersebut. Semoga ke depannya diskursus-diskursus mengenai ini semakin menjamur dan memberikan dampak bagi rakyat-rakyat terpinggirkan yang selalu luput dari perhatian penguasa yang kapitalistik dan pro pemodal.
