Judul Buku : Laut Bercerita
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Penulis : Leila S. Chudori
ISBN : 978-602-424-694-5
Jumlah Halaman : x + 379 hlm
Dimensi Buku : 13,5 cm x 20 cm
Pembukaan
Ini kali kedua saya membaca buku karyanya Leila S. Chudori. sebelumnya saya pernah membaca salah satu karyanya yang berjudul “Pulang”. Ada kenangan dan kegemaran ketika membaca buku pertama. Pun ketika membaca buku ini, buku yang menurut saya adalah buku yang membuat saya merasa tersentuh, emosi, berapi-api, kalut, serta kelam ketika terus menerus mengikuti jalan cerita yang dibangun dalam buku ini. Bagaimana tidak, buku ini menceritakan tentang sebuah kisah tentang seorang aktivis yang bernama Biru Laut yang dibunuh dan dihilangkan secara paksa karena mengkritik pemerintah orde baru pada saat itu bersama dengan kawan-kawannya di Organisasi Wirasena.
Ada dua bagian cerita dalam buku ini. Bagian pertama mengambil sudut pandang Biru Laut sebagai seorang aktivis yang menceritakan bagaimana Laut dan kawan-kawannya membuat sebuah gerakan dan perlawanan atas pemerintah orde baru yang otoriter. Menyusun sebuah gerakan, melakukan pendampingan kepada petani yang dirugikan negara, serta bagaimana Laut dan kawan-kawannya berpindah-pindah tempat untuk bersembunyi karena pada saat itu meraka sedang menjadi buronan pemerintah, yang akhirnya tertangkap oleh pasukan rahasia atas suruhan pemerintah orde baru. Sedangkan bagian kedua dikisahkan oleh adiknya Laut yaitu Asmara. Bagian kedua ini menceritakan proses pencarian terhadap Laut dan beberapa kawannya yang hilang entah kemana. Bagian ini mewakili bagaimana keluarga korban penghilanga paksa yang terus mencari secercah jawaban atas ketidak jelasan keluarga atau kerabatnya yang dihilangkan secara paksa. Jika masih hidup, dia disekap dimana. Dan jika sudah mati, dia dikuburkan dimana. Selain itu, dalam bagian ini juga menggambarkan bagaimana perasaan para korban yang selamat (dibebaskan) mengalami perubahan sikap dan perilaku akibat trauma dan bagaimana mereka berjuang untuk tetap hidup dan ikut mencari kawannya yang hilang dan belum kembali.
Penulis mampu membuat sebuah buku fiksi historis dengan mengambil tema kelam dalam novel ini tetapi enak dan menyenangkan untuk dibaca. Drama dan tragedi yang diceritakan dalam novel ini membuat pembaca ikut merasakan situasi dan kondisi yang pilu dan melankolis yang membuat kita berempati serta memahami bagaimana perasaan orang-orang yang terlibat (korban dan keluarga korban) dalam kasus penghilangan secara paksa tersebut. Bahkan, demi membentuk akurasi serta pendalaman emosi dalam cerita ini, penulis sendiri mewawancarai langsung para korban selamat dan keluarga korban yang terlibat dalam tragedi penculikan aktivis tahun 1998.
Isi Cerita
“Matilah engkau mati,
Kau akah lahir berkali-kali”
Sambutan pertama dalam lembar buku tersebut diisi oleh dua larik puisi diatas. Puisi ini nantinya akan menjadi bara penyemangat yang membuat kita bergairah ketika menyelami kata demi kata, kalimat demi kalimat, halaman demi halaman sehingga membentuk sebuah cerita yang penuh dengan drama dan tragedi kelam didalamnya.
“Bapak, Ibu, Asmara, Anjani, dan kawan-kawan… dengarkan ceritaku…”
Biru Laut mengawali ceritanya kepada kita bagaimana ia menemui kematian dengan cara ditenggelamkan ke dasar laut setelah tiga bulan dikurung disebuah tempat yang entah dimana serta mengalami penyiksaan yang sangat tragis dan tidak manusiawi; dipukul, diinjak, bahkan disetrum. Ia memulai kisahnya di Seyegan, Yogyakarta pada tahun 1991. Seyegan sendiri merupakan markas organisasi mahasiswa Wirasena. Laut bersama kawan-kawannya Kinan, Bram, Sunu, Alex, Daniel, Julius, Dana, Gusti, Naratama dan kawan-kawan lainnya yang nantinya akan bersama-sama menggerakan organisasi Wirasena dalam perjuangannya untuk meruntuhkan ketidakadilan serta membuat gerakan yang menentang pemerintahan otoriter orde baru dibawah pemerintah Soeharto. Sesekali juga, ia bercerita bagaimana harmonisnya keluarganya yang selalu menyempatkan waktu di hari minggu sore untuk berkumpul di meja makan bersama ibu yang mahir dalam memasak, bapak sebagai wartawan di harian solo serta adiknya bernama Asmara yang sangat disayanginya.
Ia juga bercerita tentang Anjani, kekasihnya, yang bertemu pertama kali ketika Anjani sedang membuat mural di tembok sekre wirasena tentang kisah mahabrata yang dijungkir balikan ceritanya oleh anjani bahwa shinta lah yang menyelamatkan rama. Dan ini menjadi sebuah pertanda bahwa dalam beberapa gerakan yang dilakukan oleh Laut, ia akan diselamatkan oleh Anjani.
Pada bagian Blangguan, Laut menceritakan bagaimana ia dan kawan-kawannya membela petani jagung yang dirampas lahannya oleh negara dengan rencana untuk membuat sebuah aksi tanam jagung bersama petani di Blangguan. Hingga dia diculik dan dijebloskan ke dalam penjara; diinterogasi, dipukul habis-habisan, diinjak, bahkan sampai disetrum. Hingga akhirnya Laut dan kawan-kawannya dilepaskan dan dibuang di Bungurasih. Dari peristiwa tersebut, Laut sempat berpikir dan mempertanyakan yang selama ini ia lakukan, hingga akhirnya Kinan memberikan sebuah kalimat kepadanya.
“Yang penting kita ingat setiap langkahmu, langkah kita, apakah terlihat atau tidak, adalah sebuah kotribusi, Laut. Mungkin saja kita keluar dari rezim ini 10 tahun lagi, atau 20 tahun lagi. Tapi apapun yang kamu alami di Blangguan dan Bungurasih adalah sebuah langkah. Sebuah baris dalam puisimu. Sebuah kalimat pertama dalam cerita pendekmu.” (Kasih Kinanti kepada Biru Laut).
Ia dan kawan-kawan lainnya mencurigai satu kawannya bernama Naratama sebagai agen ganda yang selalu membocorkan aktivitas-aktivitas yang dilakukah oleh mereka kepada intel; peristiwa Blangguan, demo di Surbaya, aktivitas di Klender, dan acara Seminar untuk membahas unjuk rasa yang gagal. Hingga pada sepertiga bagian cerita, terkuaklah siapa sebenarnya agen ganda yang selalu membocorkan informasi dan aktivitas mereka tersebut. Ia sangat kecewa, kawan-kawan yang lainpun kecewa dan kaget, hingga ia merasakan sakit hati dikhianati oleh yang tak pernah terduga oleh mereka.
“Kita harus belajar kecewa bahwa orang yang kita percayai ternyata memegang pisau dan menusuk punggung kita. Kita tak bisa berharap semua orang akan selalu loyal pada perjuangan dan persahabatan.” -Bram.
Pada bulan Maret 1998 para aktivis Wirasena diculik, diinterogasi, dan disiksa dengan cara yang tidak manusiawi; Laut, Sunu, Kinan, Bram, Sang Penyair, Alex, Daniel, Coki, Hamdan, Naratama dan kawan-kawan lainnya. Dari beberapa aktivis yang diculik, Alex, Daniel, Naratama, Coki, Hamdan, dan lima orang lainnya dikembalikan masih dalam keadaan hidup. Tetapi Laut, Sunu, Kinan, Bram, Sang Penyair dan beberapa kawan lainnya hilang tanpa jejak setelah disekap dan dikurung.
Bagian kedua, cerita kemudian berangkat dari sudut pandang Asmara Jati, adik kandung dari Biru Laut. Ia, ibu, dan bapaknya yang ditinggalkan oleh kakaknya secara misterius merasa sangat kehilangan. Sampai pada sebuah cerita bagaimana bapak tiap hari minggu sore masih menyediakan empat piring di meja makannya, karena menganggap anaknya, Laut nanti pasti pulang. Kisah Asmara bermula pada tahun 2000.
Dalam bagian kedua ini, penulis mencoba mengambil sudut pandang keluarga korban yang mengalami penghilangan secara paksa. Bagaimana mereka menanti sebuah kepastian dan tetap menyalakan harapan serta mencari sebuah jawaban atas tragedi itu. dan juga bagaimana penulis menggambarkan perasaan para korban yang selamat yang mengalami sisi traumatis yang sangat dalam, bahkan ada beberapa tragedi yang tidak sanggup mereka ceritakan dan terus dipendam selama beberapa tahun.
Asmara, para korban yang selamat, dan keluarga korban lainnya bergabung bersama Aswin dan membentuk sebuah lembaga bernama KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) dan terus menerus meminta pemerintah untuk segera menuntaskan kasus tersebut. Bahkan para keluarga korban tiap hari kamis dengan pakaian hitam mendatangi istana untuk meminta kejelasan.
Kunggulan Buku
Novel ini ditulis dengan diksi yang ringan dan renyah, sehingga pembaca mudah memahami serta ikut menyelami setiap peristiwa yang terjadi dalam cerita tersebut, bahkan sampai bisa membayangkan dan seperti ikut masuk dalam cerita tersebut. Novel ini juga mampu mengulas sejarah yang tidak pernah diceritakan dalam buku sekolah dalam sebuah cerita. Meskipun tokoh-tokohnya fiktif tetapi cerita di dalamnya menceritakan sejarah yang pernah terjadi di Indonesia karena penulis melakukan riset yang mendalam serta mewawancarai beberapa korban yang selamat.
Kekurangan Buku
Meskipun novel ini sangat layak diapresiasi, tetapi kisah dalam sudut pandang Asmara Jati terlalu monoton dan lambat sehingga pembaca kurang menyelami setiap cerita yang ada. Ditambah sisi traumatis yang dialami oleh para korban selamat kurang diceritakan lebih mendalam.
Kesimpulan
Menurut saya, penulis buku ini ingin mencoba menjelaskan sejarah yang tidak pernah diajarkan di sekolah dengan menciptakan sebuah cerita yang nyata adanya. Meskipun tokoh-tokoh didalamnya fiktif, tetapi tragedi penghilangan dan penculikan aktivis itu benar terjadi, tragedi 1998 itu nyata, dan sampai hari ini pun para aktivis yang hilang serta keluarga korban pada tragedi 1998 tersebut belum mendapat kejelasan. Dan entah sampai kapan.
Saya kira buku ini sangat cocok dibaca oleh para mahasiwa dan pemuda yang ingin lebih menyelami dan mendalami bagaimana pemerintahan orde baru saat itu sangat otoriter dan anti kiritik, sampai-sampai menculik, menyiksa, menghilangkan para aktivis yang berani bersuara dan memberikan kritikannya terhadap pemerintah. Tragedi 1998 tak akan terlupakan dan dilupakan. Karena, kebenaran takan pernah mati. Suara-suara kebenaran itu tak bisa dipenjarakan.
