Sumber Daya Alam tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Setiap aktivitas, selalu membutuhkan Sumber Daya Alam. Adapun Sumber Daya Alam adalah segala sesuatu yang berasal dari alam; bumi, biosfer, dan atmosfer. Dilihat dari klasifikasinya, ada Sumber Daya Alam yang bersifat terbatas dan ada Sumber Daya Alam yang bersifat tidak terbatas. Sumber Daya Alam yang bersifat terbatas adalah sesuatu yang berasal dari alam yang mempunyai kapasitas terbatas dan tidak dapat diperbaharui, seperti gas alam, batu bara, uranium, dll. Sedangkan Sumber Daya Alam yang bersifat tidak terbatas adalah sesagal sesuatu yang berasal dari alam yang bisa diperbaharui seperti; peternakan, produk pertanian, produk kehutanan, dll.
Dalam mengelola Sumber Daya Alam, manusia secara sadar harus mempertimbangan keseimbangan ekosistem didalamnya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Malthus bahwa manusia dan makhluk lain di alam sama kedudukannya dan fungsinya. Malthus juga lebih lanjutnya menjelaskan bahwa proses rumah tangga lingkungan dan ekosistem terdapat dua komponen yaitu komponen lingkungan (produsen) dan komponen kesatuan makhluk hidup (konsumen).
Berbicara mengenai bentuk dan status penguasaan, Iskandar dalam bukunya “Manusia, Budaya, dan Lingkungan Ekologi” menuliskan bahwa sumber daya alam dapat dibedakan atas empat kelompok: (1) Milik umum (open access), (2) milik negara (state), (3) milik pribadi atau perorangan (private), dan (4) milik bersama (communal).
Masing-masing bentuk dalam penguasaan sumber daya alam tersebut memiliki karakteristik tersendiri. Pada sumber daya alam milik bersama/umum, status kepemilikannya diambangkan, yaitu tiap orang bebas dan terbuka untuk memperolah manfaat. Selanjutnya, sumber daya alam milik pribadi merupakan sumber daya alam yang secara tegas dimiliki oleh orang-perorangan dan orang lain tidak dapat menguasai dan mengaturnya. Sedangkan sumber daya alam milik kelompok/komunitas, adalah sumber daya yang dikuasai oleh suatu kelompok, karenanya orang atau kelompok lain tidak dapat mengambil manfaat sumber daya tersebut tanpa izin kelompok yang menguasainya. Terakhir, sumber daya milik negara merupakan sumber daya yang secara tegas dikuasai dan dikontrol oleh negara.
Manusia, jika dilihat dari rumah tangga lingkungan dan ekosistem termasuk dalam komponen kesatuan makhluk hidup yang berfungsi sebagai konsumen. Artinya, manusia sebagai makhluk yang menggunakan dan memanfatkan sumber daya alam yang ada. Manusia adalah makhluk yang menggantungkan hidupanya pada sumber daya alam. Ketergantungan manusia pada alam tidak dapat dipahami tanpa studi ekologi mendalam terkait kehidupan. Pada 1962, buku terkenal Rachel Carson Silent Spring merupakan buku yang sangat penting yang mampu merangsang kesadaran lingkungan. Buku ini merupakan salah satu contoh baik dalam mempelaari alam menggunakan pendekatan konservasi.
Sejak kontribusi awal Aldo Leopold, bidang filsafat lingkungan telah berkembang dengan banyak pemikiran baru memasuki perdebatan tentang dimaa kita berdiri dalam kaitannya dengan alam, dan apa prinsip-prinsip metafisik dan etika yang membentuk pemikiran kita. Leopold melakukan diskusi bersama konservasionis abad kesembilan belas tentang apakah alam harus dipertahankan hanya karena manfaat ekonomi dan praktis untuk menusia atau kaena memberikan nilai lebih dari sekedar menyediakan sumber daya alam. Dia menyebutkan suara burung dan keindahan bunga sebagai bagian dari karunia alam. Ia juga membawa ke fokus pentingnya interkoneksi banyak hal ke alam, pengatahuan ekologi. Ia bersikeras bahwa etika lingkungan harus fous pada sistem dan buka hanya pada hal-hal individual.
Eksploitasi sumber daya alam yang tidak rasional dan hanya mementingkan hasrat keserakahan dan kenikmatan telah memberi andil yang cukup signifikan dalam membentuk selera konsumtifisme berdasarkan pandangan yang individualistik-materialistik. Konsumsi yang bersifat memboroskan karena pengaruh teknologi modern yang dilandari oleh falsafah materialistik-positivisme telahpula mebawa dampak cukup serius bagi keberlangsungan trans geerasi di masa depan. Hal ini disebabkan karena manusia telah menguras dan menguasai sumber daya alam tanpa pertimbangan faktor lingkungan hidup sebagai wahana kehidupan. Pencemaran, kemiskinan, dan konflik kepentingan tidak hanya bersifat nasional atau regional saja, melainkan telah menjadi masalah yang bersifat internasional dan global tanpa menghiraukan dimenasi manusia, alam, dan waktu. Untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan hidup, maka pembangunan sebagai upaya meningkatkan harkat martabat manusia hendaklan mempunyai strategi yang benar-benar mempertimbangkan faktor-faktor human ecologies dengan dasar antro-ekologis-filsafati.
Eksistensi filasafat jika dikaitkan dengan ekologi nantinya akan menjadi alternatif baru yang mana kearifan ekologi yang terdapat pada kearifan lokal (local wisdom), askeitisme yang ada pada ilmu pengetahuan dan etika filosofis (ekosentrisme) dapat digunakan sebagai alternatif untuk mencegah kerusakan lingkungan yang dikarenakan sistem kapitalisme yang eksploitatif, kaum sekuler, kaum atheism, dan termasuk juga agama yang telah kehilangan orientasi penyelamatan lingkungan dan ilmu yang gemar mengeksploitasi alam secara besar-besaran. Bila ditinjau lebih lanjut kesalahan cara pandang terhadap alam ini bersumber dari paradigma antroposentrisme yang memandang manusia sebagai pusat dari alam semesta, dimana manusia dipandang memiliki nilai sementara alam dan segala isinya sekedar alat bagi pemuas kepentingan dan kebutuhan hidup manusia. Cara pandang ini menyebabkan sikap dan perilaku yang eksploitatif tanpa memperdulikan alam dan segalaisinya yang dianggap tidak memiliki nilai. Dalam paradigma ini manusia diposisikan sebagai subjek superior dan alam sebagai objek inferior. Manusia bukan lagi sebagai peziarah bumi tetapi sebagai pencipta bumi yang berada diluar hukum dan kerangka kerja alam. Dengan demikian manusia lebih dianggap memiliki kuasa atas eksploitasi alam.
Dalam paradigma ilmu pengetahuan yang Cartesian, ada pemisahan dengan tegas antara alam sebagai obyek ilmu pengetahuan dan manusia sebagai subyek. Sementara cara pandang mekanistis-reduksionistis cenderung membela paham bebas nilai dalam ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan bersifat otonom, sehingga seluruh perkembangan ilmu pengetahuan diarahkan hanya demi ilmu pengetahuan. Penilaian terhadap ilmu pengetahuan tentang baik buruknya dan teknologi beserta dampaknya kemudian tidak relevan jika dinilai dari segi moral dan agama.
Fritjof Capra memperkenalkan apa yang disebut dengan ecoliteracy yang bertujuan untuk memberikan tawaran solusi dalam membangun sebuah masyarakat berkelanjutan yang mampu membangun dan menata hidup secara bersama dengan bertumpu pada kesadaran tentang pentingnya lingkungan hidup. Ecoliteracy sendiri merupakan sebuah paradigma baru gerakan. Gerakan ini digagas dalam rangka mengupayakan kepedulian terhadap lingkungan dan berusaha meningkatkan kesadaran ekologis bagi masyarakat. Dalam ecoliteracy ini juga berupaya mengenalkan dan memperbaharui pemahaman masyarakat terhadap pentingnya kesadaran ekologis global. Semua itu bertujuan untuk menciptakan kesimbangan antara kebutuhan masyarakat dan kesanggupan bumi untuk menopang segala kehidupan yang ada didalamnya. Menurut Capra, ecoliteracy lebih mudah disebut dengan melek-ekologi yang artinya sebuah kesadaran masyarakat akan pentingnya lingkungan hidup. Istilah lain dari ecoliteracy adalah ecological literacy. Ecological sendiri dimaknai lebih luas sebagai ecology yang mengandung pengertian ilmu tentang bagaimana merawat dan memelihara alam semesta tempat tinggal makhluk hidup. Sementara literacy dalam bahasa Inggris artinya melej huruf dalam arti yang luas adalah keadaan dimana orang sudah paham atau tahu tentang sesuatu.
Ecoliteracy ini diinspirasi dan bersumber dari apa yang disebut Capra yait kearifan alam. Dengan ecoliteracy, Capra mendambakan masa depan umat manusia, masa depan kmunitas manusia dan masa depan planet bumi ini yang tergantung pada ecoliteracy ini, kondisi dimana manusia memiliki kesadaran penuh tentang pentingnya lingkungan hidup, mampu dan serius dalam mengelola alam dan lingkungan hidup yang ada di sekitar.
Dengan kesadaran ekologis inilah diharapkan manusia dapat menata pola dan gaya hidup yang lebih selaran dengan alam dan lingkungan hidup. Dengan demikian mansusia menggunakan kesadaran tersebut untuk menuntun hidupnya dalam sebuah dimensi yang berbudaya di masyarakat dan akhirnya terciptalah sebuah masyarakat berkelanjutan. Adapun gaya hidup yang dapat merusak lingkungan menurut Noelaka adalah gaya hidup yang menekankan pada kenikatan, foya-foya, berpesta pora, gaya hidup yang mementingkan materi, gaya hidup yang konsumtif, dan gaya hidup yang mementingkan diri sendiri.
Selanjutnya, manusia perlu merevitalisasi, membangun dan menata kembali komunitas-komunitas masyarakat dengan model komunitas ekologis yang berkelanjutan seperti dalam komunitas pendidikan, komunitas bisnis dan komunitas politik agar prinsip-prinsip ekologi dapat diimplementasikan dalam komunitas-komunitas tersebut sebagai prinsip-prinsip pendidikan, manajemen, industri, teknologi, struktur sosial, dan politik. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mempertahankan, menjaga, melindungi lingkungan hidup. Sejalan dengan pemikiran David W. Orr, seorang pakar pendidikan Amerika, menambahkan bahwa tujuan ecoliteracy dibangun berdasarkan pengakuan bahwa gangguan ekosistem mencerinkan gangguan pemikiran seseorang atau suatu lembaga, sehingga gangguan ekosistem tersebut menjadi titik perhatian bagi lembaga-lembaga yang berkepentingan kemudian agar mereka serius dalam menanggapi masalah tersebut dan berusaha untuk mencari solusinya. Dalam hal ini, krisis ekologi didalamnya mencakup tentang krisis pendidikan, karena pendidikan berkaitan dengan pendidikan lingkungan. Ecoliteracy sangat penting untuk diajarkan kepada peserta didik khususunya di tingkat pendidikan dasar. selanjutnya, siswa yang memiliki pemahaman tentang ecoliteracy diharapkan memiliki kemampuan dan pemahaman yang komprehensif mengenai aspek ekologis, baik ekologi manusia dan kesinambungan lingkungan hidup sebagai alat untuk memecahkan masalah. Dengan demikian, siswa diharapkan mampu memiliki kesadaran, kepekaan, bahwa lingkungan harus tetap dijaga, dikelola, dan dimanfaatkan bukan hanya untuk saat ini akan tetapi untuk generasi mendatang.
Untuk keluar dari krisis dan bencana lingkungan hidup tersebut dibutuhkan perubahan radikal dalam pemahaman manusia, dalam cara berpikir dan penialaian anusia. Sebuah perubahan paradigma mengenai cara berpikir tentang hakikat alam semesta dan perubahan radikal dalam perilaku manusia terhadap alam semesta adalah cara pandang yang memahami alam semesta sebagai sebuah sistem, sebagai organisme yang dilihat secara holistik. Melalui cara pendekatan baru terhadap alam, dengan tidak melakukan dominasi dan kontrol penuh atas alam, kemudian sikap hormat dan kerja sama serta dialog dengan alam diharapkan dapat menangkap hakikat, keutuhan, dan keindahannya. Dengan demikian terciptalah perilaku yang mengutamakan nilai, konservasim kerja sama serta menekankan kuanlitas dalam pola relasi yang saling melengkapi, memperkaya serta saling menghargai antara alam dan manusia.
Selain bersifat holistik, alam juga bersifat ekologis yaitu dipahami karena alam mempunyai nilai intrinsik yang lebih luas daripada sekadar nilai instrumentalis ekonomi bagi kepentingan manusia sebagaimana yang menjadi pemahaman anroposentrisme. Karena alam adalah sebuah kehidupan, bermuatan kehidupan, memberi kehidupan, dan menunjang kehidupan. Dengan memelihara alam berarti memelihara kehidupan manusia itu sendiri sebagaimana paham yang dianut oleh masyarakat adat pada umumnya yang terkandung moral didalam relasi antara manusia dengan alam.
