Sekarang orang yang berpendidikan tinggi itu merasa bahwa dialah orang yang merasa paling pintar, makanya ketika dia mengabdi kepada masyarakat, dia seakan-akan paling pintar dibanding masyarakat dan mengajari masyarakat dengan berbagai teori yang dia ketahui dan pahami, tanpa pernah sekalipun menganggap posisinya sebagai murid untuk belajar kepada masyarakat. Saya jadi teringat salah satu kutipan dalam bukunya Cak Nun yang berjudul “Gelandangan di Kampung Sendiri”, kurang lebihnya Cak Nun berkata seperti ini; ketika para mahasiswa sedang melaksanakan KKN (Kuliah Kerja Nyata), bukan berarti mahasiswa menjadi so pintar dan menggurui masyarakat, justru para mahasiswa lah yang harus belajar dari masyarakat.
Melihat hal yang demikian seharusnya kita sebagai mahasiswa yang sedikit tahu mengenai teori-teori ilmu pengetahuan harus bisa menyesuaikan posisi kita ketika sedang berkumpul bersama masyarakat. Bukan malah merasa gengsi dan merasa pintar di depan masyarakat sehingga apa yang ingin kita lakukan harus dituruti oleh masyarakat. Bukankah seharusnya orang pintar yang harus menyesuaikan dirinya? Apa gunanya kepintaran kalau tidak digunakan untuk menampung orang-orang awam dan mengajarinya tentang pengetahuan? Apa gunanya ilmu yang luas kalau dengan itu kita malah meminta masyarakat yang ilmunya awam untuk mengabdi dan menuruti serta menyesuaikan diri kepada kita? Karena sesungguhnya jika seseorang meningkat ilmunya, jiwanya menjadi luas dan kepribadiannya menjadi lapang, sehingga mampu membantu masyarakat yang ilmunya masih awan agar menjadi masyarakat yang pintar dan kritis. Kalau dengan itu kita malah memaksakan kehendak kita kepada masyarakat, apa bedanya kita dengan para pejabat yang duduk nyaman di kursi di singgasana sana?
Apalagi mahasiswa sekarang sudah hampir tidak tahu fungsinya dia sebagai mahasiswa sebagai penyambung dan penyampai aspirasi masyarakat bawah kepada para pejabat pemerintah. Mereka terlalu sibuk bermain di lingkungan yang elitis dengan para komprador dan borjuis dan melupakan bahkan pura-pura tidak melihat ke bawah bahwa masih banyak ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat yang harus senantiasa kita bantu perjuangkan. Mereka terlalu mementingkan dirinya sendiri dengan nafsu keserakahan dan keegoisannya.
Saya sendiri pernah berbincang dan ngobrol dengan para masyarakat bawah, anak-anak gelandangan, dan kaum marjinal lainnya, yang oleh kebanyakan orang dipandang negatif. Padahal setelah saya banyak berbincang dengan mereka, mereka justru lebih mulia daripada kebanyakan orang yang berpendidikan dan saya sendiri. Coba bayangkan kita sebagai mahasiswa atau orang yang dalam tanda kutip berpendidikan, dalam hal materi sudah sejauh mana kita bisa memberi kepada kedua orang tua kita? Apakah pernah kita merasakan susahnya mencari sesuap nasi untuk menyambung hidup sehari-hari?
Saya belajar banyak bahwa betapa kerasnya kehidupan anak-anak gelandangan, seorang anak yang baru berusia kurang lebih 12 tahun sudah mampu memberikan materi kepada orang tuanya dan bisa menghidupi keluarganya hanya dengan bekerja sebagai pengamen. Ironisnya, kita sebagai mahasiswa kadang meminta lebih uang jajan kepada orang tua kita, bahkan ada juga yang berusaha menipu orang tuanya agar uang jajannya dilebihkan. Setelah saya lama berbincang dengan mereka, mereka (kaum marjinal) bukan tidak mau mengenyam pendidikan seperti kita mahasiswa, tetapi mereka memiliki keterbatasan dalam faktor ekonomi karena untuk mengenyam pendidikan sekarang itu membutuhkan biaya yang cukup besar. Tetapi kenapa kita malah memandang orang-orang seperti itu negatif? Sungguh kalian belum pernah merasakan di posisi mereka yang tiap hari banting tulang hanya untuk menyambung hidup.
Dalam suatu kesempatan, ketika saya sedang duduk di alun-alun kota, saya melihat seorang anak kecil yang sedang mengamen kepada para pengunjung alun-alun itu. Anak itu berjalan dan bernyanyi kepada setiap pengunjung hanya untuk sekedar menyumbangkan suaranya yang berharap agar suara tersebut bisa diapresisasi dengan cara diberi seikhlasnya materi yang pengunjung itu miliki. Saya juga tidak luput dari anak itu kecil itu, dia menghampiri dan bernyanyi di depan saya yang sedang duduk dan fokus melihat bagaimana ketulusan dan harapan anak kecil yang bernyanyi tersebut. Selesai bernyanyi, karena saya hanya memiliki uang yang tidak banyak, saya pun hanya memberi uang dengan nominal yang seadanya. Padahal, saya sangat ingin memberi lebih, tapi apa daya kondisi pada saat itu juga saya sedang tidak memegang uang lebih.
Setelah memberi uang kepada anak kecil tersebut, saya bertanya kepada anak itu, kenapa dia mau melakukan hal seperti ini (ngamen, dll)? Anak kecil itu menjawab dengan polosnya “abi ngamen teh a da kahoyong abi nyalira, soalna bapak abi nikah deui jeung teu pernah masihan naon-naon ka abi jeung ka emak, emak abi oge ayeuna teu tiasa papah, sareng abi oge gaduh rai 2 anu masih keneh alit, ahh daripada abi uih sakola terus ameng teu puguh, mending keneh abi ngabantosan emak milarian acis kangge emam jeung jajan abi”. “ari emak ayeuna damel naon?” tanya saya. “emak mah icalan bala-bala sareng gorengan” jawab si anak.
Setelah mendengar apa yang diucapkan si anak itu, saya merasa hina, karena dengan umur saya yang sekarang, saya masih membebani orang tua saya dengan biaya hidup yang saya keluarkan di kuliahan. Beda sangat dengan si anak itu yang dari kecil sudah bisa mengurangi beban orang tuanya, bahkan sudah bisa memberi dan membantu orang tuanya. Sungguh dialah orang-orang yang mulia, yang sudah bisa mandiri dan membantu keluarganya sedari kecil, dan rela menghilangkan masa kanak-kanaknya yang notabene suka bermain, dengan mencari uang untuk membantu beban orang tuanya.
Bersyukurlah kita yang masih diberikan kehidupan yang layak dan tidak perlu melakukan hal yang anak itulakukan. Tetapi dengan kita tahu, justru kita harus bisa membantu atau memperjuangkan nasib-nasib anak-anak ini agar bisa melihat masa depan seperti kita. Jangan malah menjauhi dan merasa gengsi berbaur dengan mereka. Banyak pelajaran yang saya dapatkan setelah berbincang dengan mereka.
