Setiap menjelang pemilihan umum, baik itu pemilihan presiden, gubernur, bupati, atau anggota legislatif dalam setiap tingkatan. Para calon pejabat baik itu eksekutif maupun legislatif berlomba-lomba membungkus dirinya sebaik mungkin agar rakyat terkesima dan nantinya menautkan pilihan kepadanya, membuat dirinya seakan-akan mendengarkan keluh kesah dan aspirasi rakyat kecil, memperlihatkan kejeniusan pikirannya dengan janji-janji manis yang dibalut dengan program yang bagus dan keren, atau juga dengan membuat gimmick yang disukasi oleh kebanyakan rakyat yang akan memilih nantinya. Hal itu semuanya diperbolehkan, karena memang itu merupakan bagian daripada strategi kampanye para calon -baik eksekutif maupun legislatif- untuk menggaet rakyat sebagai pemilih agar bisa mendapatkan kemenangan dalam pemilihan nanti.

Para calon juga tidak ketinggalan zaman dengan memanfaatkan perkembangan teknologi yang semakin maju dan canggih untuk dijadikan sebagai media kampanye atau promosi. Memakai media sosial, TV, iklan, dan lainnya yang sering digunakan para calon sebagai media promosi. Meskipun hadirnya para calon sudah mulai melakukan strategi kampanye di media sosial, tetapi strategi kampanye konvesional juga kerap kali masih dilakukan. Hal itu dilakukan guna memaksimalkan promosi dan kampanye untuk lebih banyak menggaet suara pemilih yaitu rakyat. Pemasangan baliho di lokasi-lokasi strategis menjadi strategi yang sepertinya tidak bisa ditinggalkan. Pasti setiap kali mendekati pesta demokrasi di Indonesia yang diadakan 5 tahun sekali, persebaran baliho tiap calon ataupun partai terpasang dan terpampang di berbagai tempat, di pagar, di pinggir jalan, di flyover, di taman kota, dan di tempat lainnya.

Dalam setiap pemilihan umum di Indonesia, pemandangan baliho yang membanjiri ruang publik telah menjadi hal yang umum dan wajar. Tujuannya adalah untuk mempromosikan diri kepada rakyat. Meskipun tujuannya untuk mempromosikan diri atau partai, baliho-baliho ini seringkali membawa dampak negatif terhadap estetika visual lingkungan. Bahkan ada beberapa kasus kecelakaan yang diakibatkan oleh baliho atau bendera partai yang dipasang di pinggir jalan lalu terjatuh dan menimpa pengendara motor sehingga membuat pengendara tersebut jatuh dari motor.

Jadi, selain menjadi sampah visual, baliho-baliho yang tersebar disetiap penjuru kota dan daerah tersebut juga bisa memberikan dampak yang lebih parah seperti yang telah disebutkan di atas. Padahal, di era pesatnya perkembangan teknologi sekarang, strategi kampanye dengan memasang baliho-baliho seperti itu kiranya sudah harus mulai ditinggalkan dan digantikan dengan kampanye dan promosi digital melalui medium-medium yang sudah banyak jenisnya. Karena, selain menjadi sampah visual atau merusak keindahan visual, pemasangan baliho dan bendera partai juga memiliki sisi-sisi negatif lainnya.

Sampah Visual di Ruang Publik dan Sampah Sebenarnya

Baliho-baliho besar dengan gambar dan slogan para calon seringkali menyita perhatian dan menciptakan sampah visual di berbagai lokasi. Karena tak sedikit baliho tersebut dipasang ditempat-tempat yang sebenarnya lebih indah jika tidak ada baliho yang terpasang tersebut. Dari mulai jalan utama hingga sudut-sudut kecil kota tak lepas dari pemandangan baliho yang tertempel tersebut. Dampaknya, baliho-baliho yang dipasang dengan tidak teratur tersebut mengubah panorama dan keindahan kota menjadi pemandangan yang kurang indah.

Sehingga, baliho-baliho yang terpasang tersebut cenderung merusak pemandangan alam dan arsitektur bangunan di sekitarnya. Ketinggian baliho, jumlah baliho, dan warna baliho yang mencolok dapat mengubah keseluruhan estetika lingkungan di sekitarnya. Selain itu akan mengurangi harmonisasi antara bangunan, alam, dan elemen lain di sekitarnya.

Dampaknya, pemasangan baliho yang tidak teratur dan mengganggu estetika lingkungan tersebut bukan malah mendapatkan rasa simpati dari rakyat, melainkan justru bisa mendapatkan nyinyiran, cibiran, dan komentar rakyat akan adanya baliho yang menggangu tersebut.

Sebagai informasi, regulasi terkait pemasangan baliho di ruang publik sebenarnya telah ada aturannya. Sebagaimana dalam Peraturan KPU Nomor 23 Tahun 2018 tentang Kampanye dijelaskan bahwa pemasangan baliho tersebut telah diatur dimulai dari jenisnya, ukurannya, hingga area dan waktu pemasangannya. Bahkan di beberapa daerah juga telah ada aturan yang lebih spesifik terkait pemasangan baliho tersebut, seperti di DKI Jakarta dalam Perda Nomor 9 Tahun 2014 tentan Reklame dijelaskan area-area mana saja yang boleh dan tidak boleh dipasangi baliho. Umumnya, area perkantoran pemerintah, sekolah/kampus, atau rumah sakit tidak boleh ada baliho yang terpasang.

Akan tetapi, aturan hanyalah sebatas aturan. Bukan aturan namanya jika tidak ada yang dilanggar. Seperti halnya tentang pemasangan baliho. Banyak wilayah-wilayah yang seharusnya steril dari baliho justru terdapat baliho terpasang.

Tak hanya menjadi sampah visual, baliho juga menjadi sampah asli secara asli dalam artian yang sebenarnya. Hal itu dibuktikan dari hasil penelitian yang dikeluarkan oleh Forest Digest di mana dalam penelitian tersebut menjelaskan bahwa baliho politik ternyata menghasilkan emisi karbon yang cukup besar.

Dalam penelitian tersebut disebutkan bahwa dari setiap selembar baliho itu terkandung didalamnya polyethylene, yaitu bahan kimia untuk pembuatan plastik. Sebagai informasi, satu kilogram polyethylene itu didapatkan dari pengolahan 2 kilogram minyak bumi. Nah, Forest Digest menghitung bahwa setiap pembakaran 1 kilogram minyak untuk pembuatan polyethylene tersebut bisa menghasilkan 3 kilogram karbondioksida (CO2).

Itu baru dari satu baliho saja, bayangkan sekarang raturan bahkan baliho yang terpasang hari ini, kira-kira sudah menyumbangkan emisi karbon berapa?

Pemborosan Sumber Daya dan Anggaran

Selain menjadi sampah visual dan sampah sebenarnya, baliho yang dipasang juga pasti membutuhkan anggaran yang tidak sedikit serta perlu sumber daya yang banyak pula. Produksi baliho yang memakan biaya tinggi perlu diperhatikan ulang oleh para calon yang ingin berkampanye dengan cara konvensional/kuno.

Misalnya kita ambil contoh dan hitung besaran biaya pembuatan baliho satu calon saja. Calon A pada tinggkatan daerah kota/kabupaten minimalnya membutuhkan 1.000 baliho. Harga satu baliho dengan ukuran 1 x 1.5 meter biasanya berharga 50.000. Sekarang kita hitung 1.000 x 50.000 = 50.000.000 (Lima Puluh Juta Rupiah). Dari satu jenis baliho yang buat saja sudah menghabiskan biaya 50 juta rupiah. Sedangkan biasanya setiap calon itu paling sedikit membuat 2 jenis baliho yaitu jenis yang agak kotak dan kecil yang jumlahnya cukup banyak serta yang memanjang yang jumlahnya biasanya setengah dari jumlah baliho yang kecil.

Di atas itu contoh dari baliho yang agak kotak dan kecil. Sekarang kita hitung baliho yang memanjang yang paling minimal panjangnya 2 x 1 meter. Pembuatan baliho ukuran tersebut bisanya berharga 100.000. sekarang. Kita hitung sekarang 100.000 x 500 = 50.000.000 (Lima Puluh Juta Rupiah). Jika diakumulasikan biaya pembuatan baliho saja sudah menghabiskan anggaran 100 juta. Belum lagi biaya pemasangan yang biasanya menyuruh orang untuk memasangkan baliho tersebut. Kita ambil contoh lagi, pemasangan 1.500 baliho tersebut kiranya membutuhkan 50 orang dengan masing-masing orang memasang 30 baliho. Biaya pemasangan tersebut kita ambil contoh setiap satu orang dikasih 500.000. sekarang kita hitung 500.000 x 50 = 25.000.000 (Dua Puluh Lima Juta Rupiah).

Sehingga jika ditotal secara keseluruhan pembuatan dan pemasangan baliho minimalnya calon A harus merogoh kocek sebesar 125 juta rupiah. Hal tersebut tidak sebanding dengan impresi yang didapatkan oleh calon dari pemasangan baliho tersebut. Karena, baliho yang konvensional tersebut hanya menjangkau masyarakat yang ada di sekitar terpasangnya baliho tersebut.

Berbeda jika kita melakukan kampanye melalaui media digital dan internet yang sepertinya tidak membutuhkan biaya sebesar itu. Itu pun jika hanya sekedar memposting flyer dan menjadikan kontennya berpromosi. Beda lagi jika ditambahkan dengan membeli buzzer untuk meningkatkan impresi dan rekayasa sosial di media. Saya sendiri masih belum tahu kisaran biaya menyewa buzzer tersebut.

Mengganggu Aktivitas Masyarakat

Selain dari yang telah dijelaskan di atas, yaitu menjadi sampah visual dan sampah sebenarnya serta membutuhkan anggaran yang lumayan besar. Pemasangan baliho juga bisa berdampak kepada aktivitas masyarakat yang terganggu.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Pakar Komunikasi Universitas Indonesia Firman Kurniawan Sujono yang mengatakan bahwa pemasangan baliho-baliho tersebut merupakan langkah keliru. Karena bukannya mendapatkan simpati dari masyarakat, justru hanya bikin masyarakat muak saja.

Firman menilai bahwa terpasangnya baliho di beberapa tempat alih-alih beradu visi misi dan program, justru malah lebih cenderung kepada banyak-banyakan baliho dan berlomba-lomba membuat baliho seunik dan semenarik mungkin antar calon.

Apalagi, baru-baru ini saya mendapatkan berita dari media online bahwa ada pengendara motor di daerah kuningan Jakarta yang kecelakaan karena tertimpa oleh baliho/bendera partai yang jatuh karena tertiup angin. Hal itu mengakibatkan dua orang yaitu seorang kakek dan nenk yang menaiki motor tersebu luka-luka.

Memang betul, baliho-baliho yang terpasang di jalanan tersebut dapat menganggu aktivitas pengguna jalan termasuk pengendara motor. Seperti yang dilaporkan Mongabay bahwa baliho-baliho yang terpasang tersebut dapat mengganggu konsentrasi berkendara, sehingga membuat resiko kecelakaan meningkat. Kemudian ancaman seperti robohnya baliho karena faktor angin atau hujan badai bisa menjadi sebuah ancaman bagi keselamatan. Terlebih jika tidak ada perawatan yang baik dan pemasangan yang kuat dan optimal.

Sehingga, pemasangan baliho yang seperti itu sepertinya sudah tidak relevan dengan zaman hari ini yang bisa menggunakan medium lain yang lebih efektif dan efisien, yaitu menggunakan media sosial yang ada. Selain meminimalisir sampah visual, menghemar biaya, dan memitigasi resiko kecelakaan akibat baliho, penggunaan media sosial sebagai strategi kampanye juga bisa menjangkau seluruh lapisan masyarakat secara luas.

Referensi

https://www.forestdigest.com/detail/1278/emisi-karbon-baliho

https://www.mongabay.co.id/2020/08/18/merdeka-itu-bebas-dari-polusi-visual/