Kerusakan alam, peningkatan suhu iklim dunia, punahnya spesies flora dan fauna, pesatnya industrialisasi yang eksploitatif dan ekstraktif, dan segala permasalahan yang terjadi di bumi ini adalah merupakan sedikit dari sekian dampak yang diakibatkan ulah manusia dalam memandang dunia yang kita tinggali ini. Cara pandang manusia inilah yang disebut sebagai sudut pandang atau paradigma yang ada didalam pikiran manusia dan termanifestasikan kedalam kehidupan sehari-hari.
Ada dua pertanyaan yang pertama-tama harus dipikirkan oleh kita yang dari dua pertanyaan ini akan menjadi salah satu cara melihat pola pikir manusia dalam memandang dunia dan alam semesta; 1) apakah kita pernah punya pemikiran bahwa kita, sebagai manusia. merupakan makhluk yang diberikan gift berupa akal dan pikiran yang membuat kita menganggap menjadi makhluk yang paling berkuasa di muka bumi ini?, atau 2) apakah kita pernah punya pemikiran bahwa kita manusia tidak bisa hidup tanpa adanya faktor lain yang mempengaruhi dan memberikan kita kehidupan ini? Artinya, dalam kehidupan ini, sebetulnya manusia dan makhluk hidup lainnya yang ada di bumi mempunyai keterikatan dan saling terkoneksi satu sama lain.
Ketika berbicara mengenai sebuah paradigma atau sudut pandang manusia dalam memandang alam semesta, bumi dan segala isinya. Terdapat dua paradigma besar yang dianut -sadar ataupun tidak- manusia dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Baik dalam kegiatan sosial, ekonomi, politik, dan pendidikan yang mempunyai pengaruh cukup siginifikan terhadap alam semesta atau lebih khususnya bumi dan segala makhluk hidup didalamnya.
Dua paradigma tersebut yaitu: 1) Paradigma Cartesian-Newtonian, dan 2) Paradigma Holistik-Ekologis. Tentu, dari dua paradigma ini, tidak ada salah satu paradigma yang benar ataupun yang salah. dua paradigma ini sama-sama mempunyai akar teoretis dan historis yang menyebabkan lahirnya masing-masing paradigma tersebut.
Paradigma Cartesian-Newtonian
Ketika berbicara paradigma cartesian-newtonian. bahwa akar teoretis paradigma ini berasal dari penggabungan dua pemikiran filsuf barat yaitu Rene Descartes dan Issac Newton. Descartes sendiri merupakan sosok filsuf yang mempunyai pemikiran rasionalismes-mekanisnik, yaitu sebuah pemikiran atau pandangan mengenai dunia sebagai sebuah mesin besar yang terdiri dari materi dan gerak yang tunduk kepada hukum-hukum matematika.
Selain Rene Descartes yang menjadi peletak awal paradigma cartesian-newtonian, Issac Newton juga mempunyai peranan penting dalam pengembangan paradigma ini. Dimana dia mampu mengabungkan visi rasionalisme Descartes dengan visi empirisisme Francis Bacon sehingga dapat ditransformasikan ke dalam kehidupan nyata melalui peletakan dasar-dasar mekanika.
Selain daripada itu, Newton juga mengemukakannn teori yang melahirkan sistem mekanistik yang memungkinkan retrodiksi dan prediksi atas gejala amatan, baik di bumi maupun di langit. Dalam teori tersebut, Newton mampu menunjukan bahwa hukum-hukum mekanika yang ia temukan dan kemukaan mampu menjelaskan hampir semua gejala yang terjadi di bumi dan di langit.
Dengan begitu, Newton telah membingkai langit dan bumi dengan hukum-hukum yang dapat dimengerti manusia untuk menyediakan sarana kepastian bagi manusia dalam menjelaskan gejala yang akan muncul di masa depan, mengontrol dan mengeksploitasi alam. Newton berkesimpulan bahwa tidak ada ruang probabilitas dan misteri bagi fisika newton.
Dari paradigma cartesian-newtonian ini, melahirkan asumsi dasar tentang pola pikir dan pandangan terhadap dunia yang kita tinggali ini berikut makhluk hidup di dalamnya.
Salah satu asumsi dasarnya adalah subjektifisme-antroposentristik. Dalam asumsi dasar ini, manusia dipandang sebagai pusat dunia. Descartes melalui pernyataannya “cogito ergo sum” mencetuskan kesadaran subjek yang terarah pada dirinya sendiri, dan ini adalah basis ontologis terhadap eksistensi realitas eksternal di luar diri si subjek.
Selain itu, subjektivisme ini juga tampak pada pandangan Francis Bacon mengenai dominasi manusia terhadap alam. Letak subjektivisme newton ada pada ambisi manusia untuk menjelaskan seluruh fenomena alam raya melalui mekanika yang dirumuskan dalam formula matematika.
Paradigma ini tentunya jika dilihat dari akar teoretis yang menunjang paradigma ini, merupakan sebuah paradigma yang membuat manusia menjadi makhluk hidup yang superior, makhluk hidup yang berdiri di atas makhluk hidup lainnya. Sehingga dari paradigma ini akan melahirkan perilaku manusia yang bertindak seenaknya kepada makhluk hidup lainnnya dan alam karena menganggap dirinya lah yang paling berkuasa dan paling super power.
Meskipun, paradigma ini telah memberikan kontribusi positif kepada kemajuan infrasturktur industri dan perkembangan zaman, ditambah perkembangan teknologi yang semakin pesat dan mudah kita akses.
Akan tetapi, Belakangan ini, paradigma cartesian-newtonian mendapatkan sebuah kritikan dari beberapa filsuf yang menganggap paradigma ini menjadi akar masalah dari semakin rusaknya kehidupan di bumi ini.
Paradigma Holistik-Ekologis
Akar kritikan tersebut, berangkat dari hipotesanya relativitas Einstein yang menekan teori cartesian dan newtonian sehingga mengalami pergeseran paradigma. Semua batasan-batasan abslout yang ditegakkan oleh cartesius dan newton di dalam rumus-rumus ilmu pastinya mulai dipertanyakan, bahkan diruntuhkan oleh pemikiran-pemikiran dan rumus-rumus relativisme yang merupakan ilmu relatif.
Salah satunya adalah Fristjof Capra yang memberikan pemikirannya untuk mengkiritisi peradigma cartesian-newtonian dengan memberikan sebuah paradigma baru yang disebut sebagai paradigma holistik-ekologis.
Bagi Capra, fisika cartesian dan newtonian telah salah memandang alam semesta yang menganggap bahwa seluruh materi dianggap benda mati. Capra beranggapan bahwa dunia ini terdiri dari materi yang hidup, sehingga seluruh paradigma cartesian dan newtonian sama sekali tidak dapat dipakai lagi. Akibatnya paradigma sains perlu diganti dengan paradigma sains modern, yang mengacu kepada teori relativitas.
Dalam bukunya filsafat lingkungan hidup, Capra membeberkan bahwa asumsi dasar subjektivisme antroposentrik merupakan asumsi yang sudah tidak relevan untuk dipergunakan hari ini, karena dari asumsi dasar tersebut, sudah ada dampak yang bisa kita lihat hari ini, salah satunya adalah semakin massifnya eksploitasi alam yang mengakibatkan rusaknya keseimbangan ekosistem bumi ini, karena menganggap kita mempunyai hak dan kebebasan untuk mempergunakan dan memanfaatkan alam ini semau kita dan seenaknya.
Menurut Capra, seluruh krisis iklim manusia modern ini berpangkal dari krisis persepsi kita sendiri sebagai umat modern yang selama ini telah terjebak dalam apa yang disebut mechanistic world, sebuah arus pemikiran yang merupakan breaksown dari paradigma cartesian-newtonian. Implikasinya adalah semakin lumpuhnya kesadaran ilahiah dalam paradigma modern, sehingga membuat manusia semakin jauh dari kehidupan yang beradab, karena pada titik ini mereka justru dikuasai oleh egoisme dan sifat kerakusan untuk kemapanan dirinya sendiri.
Paradigma holistik-ekologis Fristjof Capra merupakan paradigma yang berakar dalam persepsi realitas sosial yang melampaui kerangka kerja ilmiah, menuju kesadaran spiritual tentang adanya satu kesatuan yang terintegrasi dalam tatanan kehidupan manusia di alam semesta.
Paradigma ini mempunyai akar pemikiran bahwa manusia tidak bisa dipisahkan dengan alam dan makhluk hidup lainnya. Dan juga paradigma ini lahir sebagai sebuah kritikan terhadap paradigma lama yang tidak memadai lagi untuk menjawab berbagai tantangan dan persoalan yang dihadapi masyarakat modern.
Paradigma holistik-ekologis merupakan sebuah paradigma alternatif baru yang lahir dan digunakan untuk mengembangkan teori, ilmu, pengetahuan, praktek dan pola pikir untuk memecahkan masalah kerusakan sumber daya dan pencemaran lingkungan yang meluas.
Gagasan Capra ini kemudian dikembangkan lagi oleh Sonny Keraf dalam salah satu bukunya yang berjudul etika lingkungan hidup. Dalam buku tersebut, Keraf menjelaskan bahwa asumsi dasar subjektivisme-antroposentrik menjadi salah satu faktor kelakuan manusia yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup hari ini, sehingga keraf memberikan asumsi dasar atau dalam bukunya disebut sebagai etika lingkungan hidup sebagai sebuah jalan baru dalam memandang bumi dan segala isinya.
Asumsi dasar itu bernama ekosentrisme. Dimana dalam ekosentrisme ini memandang makhluk hidup lainnya saling terkait satu sama lainnya. Hal ini menjadi sebuah etika yang melahirkan pemikiran bahwa pusat alam semesta ini tidak hanya berada pada manusia, akan tetapi berpusat pada makhluk hidup seluruhnya yang dalam kaitannya dengan upaya mengatasi persoalan lingkungan hidup.
Sehingga, dari etika ekosentrisme ini lah manusia mampu mengharmonisasikan hidupnya dengan lingkungan dan makhluk hidup lainnya, sebagai sebuah cara untuk saling menguntungkan, saling merawat, dan saling menjaga alam semesta ini. Yang pada akhirnya lahir lah sebuah tatanan masyarakat yang tidak lagi berpikir egois yang hanya mementingkan dirinya sendiri, tetapi menjadi manusia yang juga mementingkan lingkungan dan makhluk hidup lainnya yang ada di bumi kita ini.
Catatan
Dari dua paradigma ini, perlu kita kaji dan pahami sekiranya mana yang relevan untuk dijadikan paradigma manusia modern hari ini agar bumi yang kita tinggali ini dan segala makhluk hidup yang masih ada bisa terus eksis.
Terakhir, tulisan ini hanya sebagai pemantik bagi pembaca agar tertarik untuk bisa lebih mempelajari, mengkaji, menganalisis, dan menerapkan dua paradigma ini. Tidak hanya sebatas menerapkan dan mengimplementasikan salah satu paradigma tanpa tahu akar teoretis dan historis dari masing-masing paradigma tersebut.
