Bagi yang suka dan sering berselancar di media sosial, seringkali kita temui video-video yang dalam isi video tersebut mempertanyakan “Berapa Harga Outfit Loe?”, dimana dalam video tersebut si orang yang ditanya menjawab dengan menjelaskan harga pakaian atau barang yang dia gunakan sekaligus dengan memperkenalkan label barang tersebut. Selain daripada itu, fenomena OOTD (Outfit Of The Day) semakin menjamur di masyarakat, apalagi masyarakat urban yang secara spesifik yaitu kalangan mudanya yang selalu menampilkan Outfit yang kekinian dan selalu fashionable. Memang benar, OOTD tentu suda tidak asing lagi terdengar di telinga masyarakat, dimana OOTD ini identik dengan penampilan seseorang pada hari tersebut dengan mengunggah poto seseorang di media sosial yang berpenampilan secara all out dari mulai kepala sampai kaki, serta tak jarang pula si orang tersebut mengguanakan hashtag #OOTD dan memberikan label pada barang yang digunakan itu.
Perlu diketahui, pada awal mula munculnya fenomena tersebut, OOTD digunakan oleh Influencer atau para artis yang ditujukan untuk memberikan referensi berpakaian kepada penggemarnya. Fenomena ini semakin berkembang belakangan ini, apalagi OOTD sudah dijadikan komoditas bisnis dengan adnaya endorse kepada para influencer dan artis tersebut yang menyuruh mereka berpakaian lalu mengunggahnya di media sosial dengan memberikan label atau merk barang yang mereka pakai agar lebih memudahkan penggemarnya jika tertarik untuk membeli barang tersebut.
Jika ditelaah lebih jauh, fenomena tersebut -memakai barang yang fashionable dan kekinian- sangat erat kaitannya dengan budaya konsumerisme. Konsumerisme merupakan sebuah paham yang menjadikan seseorang atau kelompok melakukan proses konsumsi secara berlebihan terhadap barang-barang yang diproduksi. Menurut Collin Campbell, konsumerisme adalah kondisi sosial yang terjadi saat konsumsi menjadi pusat kehidupan banyak orang dan bahkan menjadi tujuan hidup, dan ketika semua itu terjadi segala kegiatan hanya berfokus pada pemenuhan konsumsi. Bahkan teori konsumerisme menurut Jean Baudrillard menjelaskan bahwa seseorang menjadi konsumerisme karena ingin menunjukan status sosialnya, bukan karena orientasi kebutuhan. Dengan begitu, individu atau kelompok hanya terfokus pada simbol-simbol yang dapat meningkatkan status sosialnya sehingga menghilangkan pemikiran apakah produk tersebut dibutuhkan atau tidak, karena keinginnya lebih kuat dibanding kebutuhannya yang menyebabkan orang tersebut terus menerus mengkonsumsi produk-produk kekinian yang fashionable dan berlabel yang membuat produk yang dia miliki semakin menumpuk dan akhirnya tidak terpakai lama. Karena ketika berbicara fashion, perubahannya begitu pesat dan cepat. Bisa saja produk yang dipakai hari ini, sudah tidak up to date minggu depan dan ketinggalan.
Gaya hidup yang konsumtif dan boros tersebut dipengaruhi oleh modernisasi globalisasi dan kapitalisme yang semakin berkembang dan mengakar. Ditambah dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi yang membuat perputaran informasi semakin cepat. Bahkan, fenomena konsumerisme ini sudah menjadi tren kehidupan di kalangan remaja dan generasi penerus. Padahal, budaya konsumerisme tersebut lebih merugikan ketimbanag menguntungkan, lebih banyak negatifnya daripada manfaatnya. Karena dampak dari konsumerisme menjadikan seseorang menjadi pribadi yang boros dan konsumtif yang membuat seseorang tersebut hanya berpikiran untuk memakai daripada menghasilkan sendiri serta menjadi punya ketergantungan dari hasil produksi.
Budaya konsumerisme juga sangat erat kaitannya bahkan cenderung berjalan beriringan dengan Hedonisme. Dimana hedonisme ini adalah sebuah ajaran yang menganggap kenikmatan dan kesenangan sebagai tujua hidup. Penganut Hedonisme adalah mereka yang mengejar kenikmatan dan menuja-muja kenikmatan serta menjalani kehidupan hanya untuk mencari kenikmatan saja. Sehingga konsekuensinya adalah mereka menghindari hal-hal yang tidak menyenangkan -padahal hidup tidak selalu menyenangkan- serta mereke cenderung mudah mengeluh dan menyerah ketika menghadapi kesulitan dalam hidup. Alhasil, orang-orang yang menerapakan budaya konsumerisme dan menganut hedonisme ini menjadi orang-orang yang gampang menyerah dan tidak kuat secara mental, sehingga orang-orang tersebut hanya berfokus untuk mengkonsumi dan mecari kesenangan tanpa memikirkan bahwa memproduksi adalah seuatu yang lebih bernilai dan penting serta kesulitan dapat menjadi sebuah pelajaran menguatkan mental dalam menjalani kehidupan yang tidak selamanya sesuai dengan apa yang disenangi dan dikehendaki.
Fenomena ini justru lebih banyak membawa hal-hal negatif ketimbang hal-hal prositif. Salah satunya adalah semakin jelasnya ketimpangan kelas anatar si kaya dan si miskin. Analoginya kurang lebih seperti ini, ketika si miskin berperilaku konsumtif dan hedon, dia akan terus menerus mengonsumi produk yang dihasilkan tanpa pernah merasa puas sehingga si kaya yang memproduksi produk tersebut akan semakin memupuk kekayaaan dari akumulasi kapital keuntungan yang dia dapatkan dari produk yang dijualnya, dan si miskin akan terus membelanjakan uangnya kepada hal-hal yang sebetulnya tidak dia butuhkan. Sehingga orang yang menerapkan konsumerisme membentuk gaya hidupnya menjad boros serta cenderung sulit untuk mengatur pengeluaran dan pemasukan dalam hidupnya. Karena selalu tergiur oleh hasrat keinginan untuk memiliki produk terbaru yang mahal, bermerk dan fashionable.
Bahkan di belahan dunia sana, tepatnya di benua Afrika, ada sebuah sub kultur di masyarakat yang menjadikan penampilan menjadi sesuatu hal yang sangat penting. Contohnya di negara Kongo, ada orang-orang yang dikategorikan sebagai masyarakat La Sape, yaitu mereka yang bergaya modis dan perlente dengan mengenakan pakaian mahal, mewah, dan berkelas dengan warna yang mencolok dan potongan yang pas sehingga terlihat sangat kontras dengan masyarakat di sekitarnya. La Sape mereka penggila mode yang mengusung hidup mahal dan boros, terutama untuk pakaian.
Terkadang memang, masih banyak kalangan masyarakat yang belum bisa menentukan prioritas kebutuhan yang penting dan selalu terjebak pada sisi keinginan yang menonjolkan hasrat untuk memiliki tanpa pernah mempertimbangkan prioritas apa yang sebetulnya dibutuhkan dan memang kebutuhannya itu sangat penting. Ada cara sebetulnya untuk meminimalisir itu, yaitu mencoba mempertimbangkan terlebih dahulu produk yang akan dibeli, baik dari segi manfaatnya, fungsinya, dll. Sehingga tidak terjebak pada kondisi “liat barang, ingin barang, langsung dibeli”, tetapi memfilter terlebih dahulu hal tersebut. karena ketika berbicara keinginan, itu hanya sebatas kepuasaan sesaat, dan yang perlu kita pikirkan adalah bukan kepuasaan sesaat tetapi mencoba memikirkan kebutuhan jangka panjangnya, sehingga kita tidak mudah tergiur produk terbaru dan hanya ujung-ujungnya produk yang kita beli nantinya menumpuk dan hanya sedikit nilai manfaatnya. Bukankah Allah SWT juga teah memperingatkan kita untuk jangan boros dan berlebih-lebihan. Yang tertuang dalam Surat Al-A’raf ayat 31 “sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan”.
Jadi, melihat fenomena tersebut dan setelah ditelaah lebih dalam lagi di atas, sepertinya yang harus kita lakukan hari ini adalah mencoba untuk memikirkan ulang. Bukan berarti tidak boleh memakai atau menggunakan produk bermerk, mahal, dan mewah, tetapi mencoca untuk memikirkan ulang apakah barang yang kita beli nantinya akan memberikan nilai manfaat atau tidak. Dan yang selalu luput dari masyarakat hari ini adalah terkadang masyarakat selalu menonjolkan simbol -menggunakan produk bermerk dan mahal- dibandingkan melihat fungsi dari produk tersebut. Dan yang paling penting adalah menyesuaikan produk yang kita pakai dengan keuangan yang kita miliki dan hanya membeli produk yang memang benar-benar kita butuhkan.
