Islam adalah agama yang penuh dengan nilai-nilai spiritual dan moral yang berguna bagi pedoman hidup masyarakat. Selain itu, Islam juga mengajarkan nilai-nilai kebajikan dalam berbagai aspek kehidupan, baik untuk kehidupan di dunia maupun kehidupan nanti di akhirat. Dalam ajarannya juga, Islam tidak hanya menyangkut aspek hubungan hambanya dengan Tuhan, tetapi juga menyangkut aspek hubungan manusia dengan manusia, serta hubungan manusia dengan alam. Sehingga, ajaran Islam akan selalu relevan dan mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman. Islam sebagai agama damai yang menurut watak dan kodratnya harus disampaikan oleh para pemeluknya dengan prinsip-prinsip yang telah diajarkan Rasulullah dalam surah an-Nahl: 125 yaitu dengan bijaksana, pelajaran yang baik, dan apabila perlu perdebatan, maka berdebatlah dengan baik. Inilah karakteristik Islam santun dalam menyikapi perbedaan karena tentu perdebatan akan timbul karena adanya perbedaan. Sikap seperti ini perlu dikedepankan mengingat tidak akan ada penerimaan dalam perbedaan jika disampaikan dengan bersikap keras dan kasar, bahkan itu akan memperlebar jarak perbedaan antara satu kelompok dengan lainnya dan ini tertulis dalam surah ali-Imran: 159. Namun, jika  melihat fenomena di Indonesia sebagai sebuah negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, belakangan ini Islam sebagai sebuah agama yang mengajarakan norma-norma kehidupan yang penuh moral mengalami pergeseran nilai ke arah negatif. Di beberapa kalangan masyarakat di Indonesia, agama Islam dijustifikasi sebagai sebuah agama yang sarat akan kekerasan, umatnya yang intoleran dan irasional. Pelabelan terhadap umat Islam tersebut tidak tercipta secara tiba-tiba, melainkan karena adanya sebuah prakondisi yang terjadi di masyarakat Indonesia menyangkut orang-orang yang beragama Islam sehingga masyarakat -secara umum- mengasumsikan agama Islam seperti itu.

Muncul dan merebaknya kelompok-kelompok Islam radikal menjadi salah satu penyebab paling signifikan dari pelabelan negatif terhadap agama Islam tersebut. Kelompok Islam radikal ini memilih jalan kekerasan dengan tujuan untuk menegakkan ajaran agamanya. Dalam pandangan Gus Dur, kemunculan kelompok-kelompok Islam radikal terjadi karena dua faktor. Pertama, karena penganut Islam Radikal ini mengalami kekecewaan akan “ketertinggalan” umat Muslim terhadap kemajuan Barat dan pengaruh budaya mereka terhadap dunia Islam. Karena ketidakmampuan kelompok radikal ini dalam membendung pengaruh barat maka kelompok ini memilih menggunakan tindakan kekerasan sebagai tameng terhadap materialistik budaya Barat. Kedua, kemunculan kelompok-kelompok Islam Radikal ini terjadi karena pendangkalan agama di kalangan umat Islam. Kelompok ini mencukupkan diri dengan penafsiran keagamaan yang didasarkan pada pemahaman mereka secara literal atau tekstual. Tidak sedikit dari tokoh-tokoh kelompok ini yang memiliki hafalan Al-Qur’an dan Hadits dalam jumlah besar dan mengagumkan. Akan tetapi pemahaman mereka terhadap substansi ajaran nilai-nilai Islam sangat lemah karena tanpa mempelajari pelbagai penafsiran yang ada, seperti kaidah-kaidah dalam ushul fiqh, maupun variasi terhadap teks-teks yang ada, (Abdurrahman Wahid: 2006).

Akibat dari pelabelan dan justifikasi negatif terhadap agama Islam tersebut, muncul sebuah fenomena ketidakpercayaan masyarakat Indonesia terhadap Islam. Orang-orang cenderung apatis dan bahkan merasa takut terhadap simbol-simbol keIslaman, bahkan orang Islam sendiri pun mengalami ketakutan dan ketidakpercayaan terhadap simbol-simbol agamanya sendiri. Seperti kalimat Allahu Akbar yang hari ini selalu disematkan kepada kelompok-kelompok Islam radikal. Oleh karena itu, orang-orang cenderung menghindari kata Allahu Akbar di depan publik karena ada ketakutan di cap menjadi bagian dari kelompok Islam radikal tersebut. Padahal jika kita melihat sejarah kemerdekaan Indonesia, kalimat Allahu Akbar tersebut memiliki sumbangsih besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tepatnya pada peristiwa 10 November 1945 ketika Pendiri Organisasi Islam Nahdlatul Ulama (NU) KH. Hasyim Asy’ari mengumandangkan Resolusi Jihad sebagai respon atas invasi yang dilakukan tentara sekutu ke Indonesia. Di peristiwa yang sama juga, terkenal peristiwa dari tokoh pemuda nasionalis bernama Bung Tomo yang mengumandangkan pekik takbir Allahu Akbar melalui siaran radio. Dari resolusi jihad dan pekik takbir inilah semangat para pemuda dan pejuang kemerdekaan semakin membara hingga berhasil mengalahkan dan memukul mundur tentara sekutu. Selain itu, Islam juga memberikan spirit dan ruh kepada para pemuda dan pejuang dalam memperjuangan kemerdekaan Indonesia serta pembentukan konstitusi negara Indonesia.

Memang tidak bisa dipungkiri, agama Islam memiliki peranan sangat penting dalam pendirian negara Indonesia. Baik dalam segi spirit kenegaraan maupun spirit kebangsaan di masyarakat Indonesia. Hal tersebut menjadi sesuatu yang wajar karena Islam -sebagai sebuah agama dan nilai- lebih dahulu hadir jauh sebelum negara ini lahir ditambah Islam adalah agama mayoritas yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Sehingga tidak heran jika dalam perumusan dan penentuan konstitusi negara Indonesia sedikit banyaknya terilhami dari nilai-nilai agama (Islam) yang ada di Indonesia. Jika melihat catatan sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia dan penentuan konstitusi negara Indonesia. Bapak Proklamator Indonesia Soekarno menguraikan dasar-dasar yang perlu dimiliki bagi pembangunan Indonesia Merdeka. Dasar-dasar yang Soekarno cetuskan adalah kebangsaan Indonesia, internasionalisme (kemanusiaan), mufakat/permusyawaratan, kesejahteraan (keadilan sosial), dan ketuhanan. Kelima prinsip inilah yang beliau namakan Pancasila, dan diusulkan sebagai Weltanschauung negara Indonesia Merdeka, (Dewantara: 2017). Selain itu, turunan dari konstitusi negara yang menjadi pondasi berdirinya sebuah negara, nilai-nilai keIslaman banyak diterapkan di berbagai kebijakan negara baik dari tingkatan nasional hingga tingkatan lokal. Seperti Peraturan Daerah (Perda) Syariah yang diterapkan di beberapa wilayah dengan mayoritas penduduknya muslim, seperti yang ada di Aceh, Sumatera, Jawa Barat. Dalam Perda Syariah tersebut terdapat banyak nilai-nilai dan ajaran keIslaman yang dimasukan ke dalam Perda tersebut. Meskipun hadirnya Perda berbasis agama mengalami banyak perdebatan hingga pertentangan dengan alasan hanya condong kepada kaum mayoritas saja (muslim) dan menafikan kehadiran kaum minoritas (non muslim) di daerah tersebut. Akan tetapi pertentangan tersebut tidak dilandasi dengan pandangan objektif. Karena pada realitanya, di daerah dengan mayoritas penduduk non Muslim, ada juga Perda berbasis agama sesuai dengan agama mayoritas di daerah tersebut, seperti Perda Injil yang ada di Papua. Justru yang harus ditekankan dengan adanya Perda berbasis agama bukan mempersoalkan kehadiran Perda berbasis agama tersebut, melainkan substansi dari Perda tersebut yang harus mengakomodir kaum minoritas sesuai dengan prinsip demokrasi yang dianut oleh Indonesia. Pandangan itu pernah disampaikan oleh Muhammad Natsir ketika membicarakan prinsip negara demokratis. Menurut Natsir, “Prinsip demokrasi itu: pertama, golongan yang berkuasa harus mendapatkan persetujuan dari golongan terbesar (mayoritas); dan kedua, golongan-golongan kecil terjamin hak hidupnya dalam masyarakat”. Selain itu, H. Agus Salim dalam sebuah artikel menulis bahwa “Dalam karangan ini kita hendak menunjukkan minat kepada kemerdekaan agama itu. Bagaimana kemerdekaan itu harus dipahami dalam negara kita, yang berdasarkan kepercayaan kepada Ketuhanan yang Maha Esa. Dapatkah dengan asas negara itu kita mengakui kemerdekaan keyakinan agama yang mengakui Tuhan terbilang atau terbagi-bagi? Tentu dan Pasti”. Pernyataan tersebut menunjukkan ketegasan sikap dalam melindungi hak-hak kaum minoritas (Ahmad Suaedy, Alamsyah, M. Dja’far, dkk: 2012). Sebagai masyarakat Indonesia, sejatinya kita tidak boleh menafikan bahwa Agama -dalam hal ini Islam- telah memberikan sumbangsih besar dari mulai pra kemerdekaan hingga berdirinya negara Indonesia sehingga agama menjadi sumber nilai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.

Penjabaran dari hal di atas menunjukkan bahwa agama dan negara tidak bisa dipisahkan, apalagi di Indonesia yang secara faktual merupakan negara beragama (Religius Nation State). Sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi bukti bahwa NKRI merupakan negara yang secara substansial memiliki kesamaan dengan negara bentukan Nabi Muhammad SAW sebagai negara religius (Religius Nation State). Nabi SAW memerangi orang-orang ateis dan pemberontak, tetapi Nabi SAW menjaga dan melindungi kaum non-Muslim. Demikian juga NKRI melarang adanya sikap anti ketuhanan dan anti keagamaan, tetapi negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya (Moh. Dahlan: 2014). Tidak hanya itu, dalam tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, eksistensi dari agama Islam mempunyai peranan yang sangat penting karena terkandung ajaran normatif nilai-nilai spiritual dan moral di dalam menjalin hubungan antara umat Islam dengan sang pencipta yaitu Allah SWT, umat Islam dengan umat agama lain, dan umat Islam dengan lingkungannya. Hubungan yang seperti itu juga ditegaskan di dalam Al-Qur’an Surat Al-Hujuraat, 13: “Hai manusia, kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal”.

Para pendiri bangsa ketika merumuskan konstitusi negara Indonesia mengakui bahwa agama memiliki peranan yang sangat penting dalam menciptakan sumber nilai yang menjadi salah satu fondasi terciptanya identitas nasional. Apalagi, Agama sudah lebih dahulu hadir dalam kehidupan masyarakat Indonesia jauh sebelum negara Indonesia lahir. Sehingga, relasi antara agama dan negara menjadi sesuatu yang dinamis-dialektis, yaitu agama dan negara berjalan berdampingan. Keduanya bertemu untuk kepentingan pemenuhan kepentingan masing-masing, agama memerlukan lembaga negara untuk melakukan akselerasi pengembangannya, demikian juga lembaga negara memerlukan agama untuk membangun negara yang adil sesuai dengan spirit ketuhanan. Tokoh yang mendukung pemahaman ini adalah Abdurrahman Wahid dan Nurcholis Majid. Kemudian, bagi tiap kelompok yang ikut dalam perumusan konstitusi di awal kemerdekaan, tentu ketetapan dasar negara ini menjadi begitu penting. Hal ini karena dasar negara menjadi pijakan utama dalam menentukan arah dan cara penyelenggaraan negara. Keputusan yang diambil oleh tokoh-tokoh muslim seperti Muhammad Natsir, Buya Hamka, Kasman Singodimejo, Wahid Hasyim, dan Agus Salim dalam perumusan ideologi negara serta penerimaan atas revisi dari Piagam Jakarta pasal 1 dari yang awalnya “Ketuhanan Dengan Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluk-pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” tersebut menunjukkan sikap toleransi terhadap eksistensi agama lain. Michel Pichard juga mengatakan dalam bukunya bahwa masuknya Islam dalam dunia politik Indonesia seharusnya tidak perlu dikhawatirkan akan merusak ideologi bangsa (Pancasila) dan bukti mengenai hal tersebut sudah ada sejak awal berdirinya negara yaitu dengan diterimanya revisi isi Pancasila oleh golongan Islam meskipun harus menghilangkan tujuh kata pada sila pertama (dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya). Kesepakatan ini kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta (Michel Pichard: 2011). Menurut para ahli politik, Piagam Madinah dipandang sebagai konstitusi atau undang-undang dasar negara bagi negara Madinah yang pertama didirikan oleh Nabi Muhammad SAW. Isi pokok Piagam Madinah menggambarkan sifat kemajemukan sebagai suatu bangsa, bukan sebagai suatu negara yang berdasarkan agama tertentu (Moh Dahlan, (2014).

Bagi sebagian besar masyarakat di Indonesia, Agama diyakini dan dipahami sebagai manifestasi firman Tuhan yang berguna bagi pedoman hidup umatnya. Agama sudah lama hadir di setiap peradaban umat manusia dari mulai manusia di zaman komunal primitif hingga zaman manusia modern hari ini. Di Indonesia sendiri, agama sudah lama hadir dalam kehidupan masyarakat Indonesia, bahkan sebelum negara Indonesia lahir dan terbentuk. Dari mulai agama nenek moyang masyarakat Indonesia hingga agama yang hari ini diakui oleh kontitusi negara Indonesia (Islam, Kristen, Buddha, Hindu, Konghucu). Dalam perkembangannya, agama berperan penting menciptakan tradisi di masyarakat bahkan lebih jauhnya berkontribusi dalam perumusan dan pembuatan konstitusi negara Indonesia. Mengingat Indonesia pra kemerdekaan di mana mayoritas masyarakatnya menganut agama Islam, sehingga Islam menjadi satu diantara agama lainnya yang memberikan sumbangsih cukup besar dalam mendirikan dan merumuskan pendirian negara Indonesia. Oleh karena itu, agama dianggap sebagai sebuah sumber yang memberikan nilai-nilai dalam terciptanya identitas nasional Indonesia. Hal itu didasarkan pada Islam sebagai agama merupakan satu mata rantai ajaran Tuhan (wahyu Allah) yang menyatu dan kehadirannya di muka bumi telah dinyatakan final dan sempurna hingga akhir zaman. Ajaran Islam merupakan satu kesatuan yang terdiri atas keimanan dan amal yang dibangun di atas prinsip ibadah hanya kepada Allah, bahkan ajaran tentang tauhid (prinisp ke-Esa-an Tuhan) merupakan sistem kehidupan (manhaj al-hayat) bagi setiap muslim kapan dan di mana pun. Buya Hamka juga dalam salah satu karyanya menulis bahwa “dengan menyebut nama Islam saja, kita teringat paa suatu agama, yang mengatur hidup dunia dan akhirat, diri dan masyarakat bersama. Pendeknya agama-negara, suatu negara-agama” (Edi Gunawan: 2014).

Dalam magnum opus-nya, Ibn Khaldun mengatakan bahwa peranan agama sangat diperlukan dalam menegakkan negara. Ia melihat peranan agama dalam upaya menciptakan solidaritas dikalangan rakyat, dan rasa solidartas akan mampu menjauhkan persaingan yang tidak sehat, justru seluruh perhatiannya terarah pada kebaikan dan kebenaran. Dengan agama pula tujuan solidaritas menjadi satu. Apa yang diperjuangkan bersama itu adalah untuk semua warga dan semuanya siap untuk mengorbankan jiwa untuk mencapai tujuannya. Lebih jauh, konsep Ashabiyah yang dicetusan oleh Ibn Khaldun juga menjelaskan bahwa Ashabiyah merupakan suatu jalinan sosial yang dapat membangun kesatuan suatu bangsa, terlepas apakah itu dipengaruhi oleh ikatan kekeluargaan maupun persekutuan. Dalam peran sosial, Ashabiyah dapat melahirkan persatuan yang dapat dibagi ke dalam dua kelompok. Pertama, menumbuhkan solidaritas kekuatan dalam setiap jiwa kelompok. Kedua, keberadaan Ashabiyah dapat mempersatukan berbagai Ashabiyah yang bertentangan, sehingga menjadi suatu kelompok yang lebih besar dan utuh (M. Mahmud Rabie’: 1967). Dari hal itu, terlepas memakai teori Ashabiyah atau tidak, masyarakat Indonesia pra kemerdekaan bersolidaritas dan bersatu patu berjuang bersama demi satu tujuan yaitu kemerdekaan Indonesia.

Dari penjelasan di atas, dimulai dari pemahaman kkeIslama serta bagaimana kontribusinya dalam perjuangan kemerdekaan dan pendirian negara hingga relasinya dengan negara dan politik, bisa dikatakan Islam hari ini mengalami kemunduran dalam hal pemahaman di kalangan masyarakat muslim Indonesia. Yang dampaknya tidak hanya terhadap penilaian Islam di kalangan muslim sendiri, melainkan juga kepada kalangan non muslim yang menjadi takut terhadap Islam, simbol-simbol Islam, dan juga orang-orang yang menganut Islam. Islam yang dilabeli sebagai agama yang keras, Intoleran, dan irasional hari ini menjadi alasan penting perlu adanya revitalisasi ulang tentang pemahaman ajaran Islam yang sejati yaitu Islam yang toleran, damai, dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia semua golongan. Dimulai dari bagaimana membangun kesadaran di masyarakat Indonesia bahwa sejarah perkembangan Islam di Indonesia itu dalam praktek kehidupan dan penyebarannya itu merangkul bukan malah memukul, beradaptasi dengan tradisi bukan malah mematikan dan menghilangkan tradisi. Karena sejarah mencatat bahwa sikap toleransi dan inklusifitas itulah merupakan kunci dalam masyarakat multikultural seperti yang ada di Indonesia.

Referensi

Ahmad Suaedy, Alamsyah, M. Dja’far dkk, (2012), Islam dan Kaum Minoritas : Tantangan Kontemporer, (Jakarta: The Wahid Institute).

Choirul Anwar (2018), Islam dan Kebhinekaan di Indonesia: Peran Agama dalam Merawat Perbedaan. Zawiyah: Jurnal Pemikiran Islam. Vol. 4, No. 2.

Dewantara, A. (2017), Diskursus Filsafat Pancasila Dewasa ini. (Yogyakarta: PT Kanisius).

Edi Gunawan, (2014), Relasi Agama dan Negara (persepktif pemikiran Islam), Jurnal Al Hikmah, Vol. XV, No. 2

Moh Dahlan, (2014), Hubungan Agama dan Negara di Indonesia. ANALIS: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 14, No. 1).

Muhammad Mahmud Rabie’, (1967), The political Theory of Ibnu Khaldun, (Leiden: E. J. Brill).

Michel Pichard, (2011), “Agama, Adat, dan Pancasila”, The Politics of Religion in Indonesia, (New York: Routledge).

Rahman A. R, (2017), Peran Agama dalam Memperkuat Integrasi Nasional (dalam perspektif sejarah). Jurnal Lensa Budaya, Vol. 12, No. 1.